GERAKAN LINGKUNGAN DI JAWA
MASA KOLONIAL
( Nawiyanto,
Paramita Vol. 24 No. 1, Hlm , 31 – 34 )
REVIEWER
: SOFI LAILATUL ZAHRO
NIM : 180110301029
PENDAHULUAN
Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang terbesar di
Indonesia, selain itu juga memiliki penduduk yang sangat padat di dunia. Abad
ke – 19 menjadi abad yang penting karena menjadi garis tanda perubahan. Sebelum
abad ke – 19 kawasan hutan dan idalamnya
masih menjadi masalah yang serius, selain itu hutan juga menjadi wilayah yang
dianggap angker karena roh – roh jahat serta berbahaya karena adanya binatang
buas. Sejak akhir abad ke – 19 hilangnya hutan yang ada di Pulau Jawa menjadi
masalah yang serius dan malapetaka bagi lingkungan. Kehancuran lingkungan atau
krisis lingkungan selain disebabkan oleh iklim juga disebabkan oleh manusia
yang dianggap sebagai penguasa tertinggi dibawah tuhan, lingkungan juga
tergantung dengan unsur antropogenis, sikapnya kepada lingkungan. Kehadiran
Kolonialisme Barat di Jawa dipandang sebagai penyebab krisis lingkungan, karena
adanya Sistem Tanam Paksa yang dikaitkan dengan lingkungan hutan.
ISI
Gerakan lingkungan yang ada di Jawa tumbuh pada akhir
abad ke – 19 yang ditandai dengan adopsi kebijakan konservasi. Gerakan lingkungan
di Jawa pada mulanya terkait erat dengan kepentingan dalam bidang pertanian.
Ini berkaitan dengan pemberlakuan peraturan konservasi lingkungan khususnya
sejak tahun 1870an yang mewajibkan orang Eropa dan pribumi. Adanya kaitan yang
erat antara kepentingan pertanian dan perlindungan lingkungan hutan penyangga tata
air ditemukan diantara para insinyur yang bekerja dalam dinas pengairan Kolonial
sebagian juga dukungan berasal dari pegawai yang bekerja dalam dinas kehutanan.
Dengan dukungan dua profesi kemudian lahir Ordonansi Kehutanan tahun 1884, yang
menetapkan preservasi hutan yang
berfungsi sebagai tata air. Selain upaya
preservasi vegetasi hutan yang ada, gerakan lingkungan juga diarahkan pada pemulihan
kawasan hutan yang rusak. Pemerintah Kolonial mulai mencanangkan progam
penanaman hutan kembali dengan motivasi yang berbeda, lebih ke penanaman jati
yang dilancarkan dalam Tanam Paksa untuk stock yang sangat penting bagi VOC. Sekitar tahun 1900 berkembang kecenderungan
baru dalam gerakan lingkungan yang mengaitkan dengan pemeliharaan dan
perlindungan lingkungan tidak hanya demi
alasan ekonomi tapi ilmiah dan estetik. Gerakan ini bertujuan untuk melindungi
flora dan fauna liar, serta lanskap alamiah atas dasar pertimbangan nilai –
nilai estetis dan ilmu pengetahuan. Hal tersebut menjadi kekhawatiran atas
bahaya kepunahan binatang sebagai isu pertama untuk ditangani, seperti badak
dan banteng di Pulau Jawa. Selain itu gerakan lingkungan dengan fokus konservasi
dan perlindungan satwa juga diinspirasi oleh unsur – unsur yang ada di dalam
tradisi Barat seperti keinginan mempromosikan hak – hak binatang. Capain legal
pertama adalah pemberlakuan Ordonansi Perlindungan Satwa Liar tahun 1909 yang
memberikan perlindungan satwa liar, kecuali yang merugikan.
Tahun 1912 organisasi pertama
menangani konservasi lingkungan alam, masyarakat Hindia Belanda untuk
Perlindungan Alam yang didirikan dengan botanis kehutanan Dr. S.H. Koorders
yang memiliki peran penting dalam memajukan gerakan lingkungan yang bersandar
pada konservasi estetis dan ilmiah dan memberi kontribusi besar bagi kemajuan
gerakan konservasi baik legal maupun praktis. Organisasi ini berhasil bekerja
sama dengan Perhimpunan Olahraga Gunung Hindia Belanda dan Komisi Belanda Untuk
Perlindungan Alam Internasional. Munculnya organisasi ini memberi dorongan kuat
bagi pemberlakuan peraturan perlindungan alam yakni memberi kerangka legal yang
mengatur pembentukan cagar alam dan suaka margasatwa. Selain melahirkan
peraturan – peraturan yang mendukung perlindungan berbagai elemen lingkungan,
capain penting dalam gerakan lingkungan di Jawa hadir dalam bentuk lembaga yang
menangani perlindungan lingkungan sebagai bagian dari birokrasi pemerintah.
Capaian lainnya dalam tataran praktis adalah terbentuknya monument alam baik
cagar alam maupun suaka margasatwa di Jawa ada 45 monumen alam pada Masa
Kolonial Belanda. Keterlibatan swasta
dalam managemen cagar alam dan suaka margasatwa pada Masa Kolonial masih
terbatas meskipun masyarakat Hindia Belanda berperan aktif untuk perlindungan
alam dalam mengusulkan konservasi lingkungan, hal ini pemerintah Kolonial
mengambil pengelolahanya sendiri daripada mempercayakan kepada swasta.
Gerakan lingkungan di Jawa
pada Masa Kolonial masih terbatas pada lingkaran pemerintah daripada rakyat,
dapat dilihat dari kenggotaan organisasi Masyarakat Hindia Belanda untuk
melingdungi alam lebih banyak orang Eropa sehingga gerakan lingkungan di Jawa
ini masih bersifat elitis dan terbatas anggota dan pendukungnya. Gerakan lingkungan
pada Masa Kolonial juga tidak banyak menaruh perhatian kepada isu polusi,
meskipun dalam realitannya polusi itu ada, misalnya polusi yang dihasilkan dari
industri gula di Panarukan. Satu – satunya peraturan mengenai polusi adalah
Ordonansi Gangguan 1926, akan tetapi tidak ditegakkan yang mengakibatkan
gangguan publik. Gerakan lingkungan pada masa Orde Baru polusi menjadi isu yang
urgent sehingga di soroti dalam gerakan lingkungan.
KESIMPULAN
Gerakan lingkungan yang tumbuh di Jawa menunjukkan
perluasan orientasi dari konservasi tata air dan tanah untuk kepentingan
pertanian dan lingkungan sendiri, ilmu pengetahuan dan estetika. Fokus gerakan
meluas dari perlindungan hutan yang mendapatkan motor penggerak sekelompok
rimbawan, insinyur irigasi, naturalis, pecinta alam Barat dan kemudian
membentuk organisasi Masyarakat Hindia Belanda untuk Perlindungan alam. Gerakan
lingkungan Masa Kolonial mencapai capain yang kongkret sari segi legal,
administrative, birokratis dan praktis yang memuncukan proyek konservasi
lingkungan dengan membentuk cagar alam dan suaka margasatwa tersebar di Jawa.
Gerakan lingkungan ini hanya terbatas untuk lingkaran pemerintah. Organisasi
masa Kolonial kurang minat terhadap isu lingkungan sehingga pyoyek –
proyek konservasi oleh pemerintah lebih
kuat menampilkan apa yang dibayangkan kaum konservasionis sebagai baik demi
rakyat, tetapi tidak sama seperti yang rakyat bayangkan.
KELEBIHAN
Kelebihan dalam Jurnal ini penulis memaparkan tentang
gerakan sosial lingkungan yang dilakukan
di Jawa pada Masa Kolonial sebagai respon terhadap isu lingkungan. Pemaparan
yang kronologis dan bahasa yang digunakan dapat memahamkan pembaca. Selain itu
kaya akan referensi sehingga menjadikan jurnal ini lebih otentik. Jurnal ini
juga dapat dijadikan bahan bacaan dan referensi mengenai sejarah lingkungan
maupun isu – isu politik lingkungan.
KEKURANGAN
Kekurangan dalam jurnal ini menurut saya terkait cakupan pembahasan yang
luas, karena tidak disertai dengan skup temporal dalam tahun dab hanya
tertuliskan “ Masa Kolonial ”. Selain itu dalam jurnal ini menggunakan innote
daripada footnote.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar