Minggu, 15 November 2020

REVIEW JURNAL : GERAKAN LINGKUNGAN DI JAWA MASA KOLONIAL

 

GERAKAN LINGKUNGAN DI JAWA

                  MASA KOLONIAL

( Nawiyanto, Paramita Vol. 24 No. 1, Hlm , 31 – 34 )

REVIEWER  : SOFI LAILATUL ZAHRO 

NIM               : 180110301029

PENDAHULUAN

Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang terbesar di Indonesia, selain itu juga memiliki penduduk yang sangat padat di dunia. Abad ke – 19 menjadi abad yang penting karena menjadi garis tanda perubahan. Sebelum abad ke – 19  kawasan hutan dan idalamnya masih menjadi masalah yang serius, selain itu hutan juga menjadi wilayah yang dianggap angker karena roh – roh jahat serta berbahaya karena adanya binatang buas. Sejak akhir abad ke – 19 hilangnya hutan yang ada di Pulau Jawa menjadi masalah yang serius dan malapetaka bagi lingkungan. Kehancuran lingkungan atau krisis lingkungan selain disebabkan oleh iklim juga disebabkan oleh manusia yang dianggap sebagai penguasa tertinggi dibawah tuhan, lingkungan juga tergantung dengan unsur antropogenis, sikapnya kepada lingkungan. Kehadiran Kolonialisme Barat di Jawa dipandang sebagai penyebab krisis lingkungan, karena adanya Sistem Tanam Paksa yang dikaitkan dengan lingkungan hutan.

ISI

Gerakan lingkungan yang ada di Jawa tumbuh pada akhir abad ke – 19 yang ditandai dengan adopsi kebijakan konservasi. Gerakan lingkungan di Jawa pada mulanya terkait erat dengan kepentingan dalam bidang pertanian. Ini berkaitan dengan pemberlakuan peraturan konservasi lingkungan khususnya sejak tahun 1870an yang mewajibkan orang Eropa dan pribumi. Adanya kaitan yang erat antara kepentingan pertanian dan perlindungan lingkungan hutan penyangga tata air ditemukan diantara para insinyur yang bekerja dalam dinas pengairan Kolonial sebagian juga dukungan berasal dari pegawai yang bekerja dalam dinas kehutanan. Dengan dukungan dua profesi kemudian  lahir Ordonansi Kehutanan tahun 1884, yang menetapkan  preservasi hutan yang berfungsi sebagai tata air.  Selain upaya preservasi vegetasi hutan yang ada, gerakan lingkungan juga diarahkan pada pemulihan kawasan hutan yang rusak. Pemerintah Kolonial mulai mencanangkan progam penanaman hutan kembali dengan motivasi yang berbeda, lebih ke penanaman jati yang dilancarkan dalam Tanam Paksa untuk stock yang sangat penting bagi VOC.  Sekitar tahun 1900 berkembang kecenderungan baru dalam gerakan lingkungan yang mengaitkan dengan pemeliharaan dan perlindungan lingkungan  tidak hanya demi alasan ekonomi tapi ilmiah dan estetik. Gerakan ini bertujuan untuk melindungi flora dan fauna liar, serta lanskap alamiah atas dasar pertimbangan nilai – nilai estetis dan ilmu pengetahuan. Hal tersebut menjadi kekhawatiran atas bahaya kepunahan binatang sebagai isu pertama untuk ditangani, seperti badak dan banteng di Pulau Jawa. Selain itu gerakan lingkungan dengan fokus konservasi dan perlindungan satwa juga diinspirasi oleh unsur – unsur yang ada di dalam tradisi Barat seperti keinginan mempromosikan hak – hak binatang. Capain legal pertama adalah pemberlakuan Ordonansi Perlindungan Satwa Liar tahun 1909 yang memberikan perlindungan satwa liar, kecuali yang merugikan.

Tahun 1912 organisasi pertama menangani konservasi lingkungan alam, masyarakat Hindia Belanda untuk Perlindungan Alam yang didirikan dengan botanis kehutanan Dr. S.H. Koorders yang memiliki peran penting dalam memajukan gerakan lingkungan yang bersandar pada konservasi estetis dan ilmiah dan memberi kontribusi besar bagi kemajuan gerakan konservasi baik legal maupun praktis. Organisasi ini berhasil bekerja sama dengan Perhimpunan Olahraga Gunung Hindia Belanda dan Komisi Belanda Untuk Perlindungan Alam Internasional. Munculnya organisasi ini memberi dorongan kuat bagi pemberlakuan peraturan perlindungan alam yakni memberi kerangka legal yang mengatur pembentukan cagar alam dan suaka margasatwa. Selain melahirkan peraturan – peraturan yang mendukung perlindungan berbagai elemen lingkungan, capain penting dalam gerakan lingkungan di Jawa hadir dalam bentuk lembaga yang menangani perlindungan lingkungan sebagai bagian dari birokrasi pemerintah. Capaian lainnya dalam tataran praktis adalah terbentuknya monument alam baik cagar alam maupun suaka margasatwa di Jawa ada 45 monumen alam pada Masa Kolonial Belanda. Keterlibatan  swasta dalam managemen cagar alam dan suaka margasatwa pada Masa Kolonial masih terbatas meskipun masyarakat Hindia Belanda berperan aktif untuk perlindungan alam dalam mengusulkan konservasi lingkungan, hal ini pemerintah Kolonial mengambil pengelolahanya sendiri daripada mempercayakan kepada swasta.

Gerakan lingkungan di Jawa pada Masa Kolonial masih terbatas pada lingkaran pemerintah daripada rakyat, dapat dilihat dari kenggotaan organisasi Masyarakat Hindia Belanda untuk melingdungi alam lebih banyak orang Eropa sehingga gerakan lingkungan di Jawa ini masih bersifat elitis dan terbatas anggota dan pendukungnya. Gerakan lingkungan pada Masa Kolonial juga tidak banyak menaruh perhatian kepada isu polusi, meskipun dalam realitannya polusi itu ada, misalnya polusi yang dihasilkan dari industri gula di Panarukan. Satu – satunya peraturan mengenai polusi adalah Ordonansi Gangguan 1926, akan tetapi tidak ditegakkan yang mengakibatkan gangguan publik. Gerakan lingkungan pada masa Orde Baru polusi menjadi isu yang urgent sehingga di soroti dalam gerakan lingkungan.

KESIMPULAN

Gerakan lingkungan yang tumbuh di Jawa menunjukkan perluasan orientasi dari konservasi tata air dan tanah untuk kepentingan pertanian dan lingkungan sendiri, ilmu pengetahuan dan estetika. Fokus gerakan meluas dari perlindungan hutan yang mendapatkan motor penggerak sekelompok rimbawan, insinyur irigasi, naturalis, pecinta alam Barat dan kemudian membentuk organisasi Masyarakat Hindia Belanda untuk Perlindungan alam. Gerakan lingkungan Masa Kolonial mencapai capain yang kongkret sari segi legal, administrative, birokratis dan praktis yang memuncukan proyek konservasi lingkungan dengan membentuk cagar alam dan suaka margasatwa tersebar di Jawa. Gerakan lingkungan ini hanya terbatas untuk lingkaran pemerintah. Organisasi masa Kolonial kurang minat terhadap isu lingkungan sehingga pyoyek – proyek  konservasi oleh pemerintah lebih kuat menampilkan apa yang dibayangkan kaum konservasionis sebagai baik demi rakyat, tetapi tidak sama seperti yang rakyat bayangkan.

KELEBIHAN

Kelebihan dalam Jurnal ini penulis memaparkan tentang gerakan sosial lingkungan  yang dilakukan di Jawa pada Masa Kolonial sebagai respon terhadap isu lingkungan. Pemaparan yang kronologis dan bahasa yang digunakan dapat memahamkan pembaca. Selain itu kaya akan referensi sehingga menjadikan jurnal ini lebih otentik. Jurnal ini juga dapat dijadikan bahan bacaan dan referensi mengenai sejarah lingkungan maupun isu – isu politik lingkungan.

KEKURANGAN

 Kekurangan dalam jurnal ini menurut saya terkait cakupan pembahasan yang luas, karena tidak disertai dengan skup temporal dalam tahun dab hanya tertuliskan “ Masa Kolonial ”. Selain itu dalam jurnal ini menggunakan innote daripada footnote.

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar