PERAN ASEAN DALAM PENYELESAIAN
KONFLIK ETNIS ROHINGNYA
Penulis : Triono (Dosen Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik universitas Megou
Pak Tulang Bawang)
Sumber Jurnal : Jurnal TAPls Volume 10. Nomor.2 Juli – Desember 2014
Reviewer : Sofi Lailatul Zahro (180110301029)
Ringkasan Abstrak : Konflik dan kekerasan yang berbau SARA yang terjadi di
Myanmar hingga kini belum terselesaikan dengan baik. Banyaknya faktor yang
menjadi akar konflik dalam perseteruan di Myanmar membuat kasus – kasusnya menjadi
sorotan dunia internasional. Rohingnya adalah sebagian dari etnis dari Myanmar
kerap mendapatkan perlakuan diskriminasi dan tidak manusiawi karena menjadi
etnis minoritas yang beragama Islam yang sering dikucilkan oleh etnis mayoritas
yang beragama Budha. ASEAN sebagai organisasi regional yang berada di kawasan
Asia Tenggara dituntut untuk lebih berperan aktif dalam proses perdamaian dan
penyelesaian konflik di Myanmar.
Landasan Teori : Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini dalah
teori konflik. Selain itu penulis juga
menggunakan bahan kaji penelitian yang digunakan oleh penulis – penulis terdahulu
mengenai etnis Rohingnya yang ada di Myanmar untuk memperkaya kosa kata dan
sebagai referensi dalam bahasan peran penting ASEAN dalam menyelesaikan konflik
yang ada di Myanmar.
Ringkasan Jurnal :
Dalam sejarah modern Myanmar mengalami dua kali masa penjajahan kolonial yaitu Inggris abad ke – 18 dan Jepang pada tahun 1940. Etnis Rohingnya adalah salah satu etnis yang berada di Myanmar yang merupakan etnis yang beragama islam dan menjadi kaum minoritas karena Negara Myanmar sebagian besar penduduknya beragama Budha. Di bawah kolonial Inggris etnis Rohingnya cenderung pada masa perdamaian. Namun pada masa Jepang, pernah terjadi konflik komunal antara etnis Rakhine dan Rohingnya di wilayah Arakhan. Pada masa pasca Myanmar merdeka justru etnis Rohingnya menjadi etnis yang berperan dalam pemerintahan Myanmar (Jenderal Aung San) dibuktikan dengan beberapa orang Rohingnya menjadi menteri kabinet Myanmar. Namun, pada tahun 1962 ketika Jenderal Ne Win melakukan kudeta hingga Ne Win menjadi Presiden, sistem politik Myanmar berubah menjadi lebih otoriter. Banyak etnis minoritas yang menjadi korban karena dianggap tidak loyal hingga ingin memisahkan diri dari Myanmar salah satunya adalah Etnis Rohingnya yang baginya adalah sebuah ancaman, sehingga dilancarkanlah sebuah operasi untuk menumpas pergerakan separatis dan mengontrol penduduk Rohingnya tahu 1978 sehingga mengakibatkan hijrahnya Etnis Rohingnya dari Myanmar ke Bangladesh. Dalam masa ini Etnis Rohingnya mengalami kondisi yang berat dimana adanya diskriminasi skala besar yang dilakukan oleh pemerintah Junta Militer Myanmar dan upaya – upaya paksa untuk memengaruhi Etnis Rohingnya menjadi beragama Budha dan adanya provokasi dari pihak luar agar memojokkan Etnis Rohingnya . Pemberitaan tentang Etnis Rohingnya tentang fakta – fakta tentang adanya konflik Rohingnya memancing kemarahan Etnis Rakhine. Pada Juli 2012 Konflik ini memuncak dengan adanya pembakaran besar besaran terhadap perumahan yang dihuni oleh Etnis Rohingnya oleh etnis Rakhine bahkan terdapat juga polisi dan tentara Myanmar terprovokasi kedua etnis tersebut dan turut menyerang perkampungan Rohingnya.
Dalam sejarah modern Myanmar mengalami dua kali masa penjajahan kolonial yaitu Inggris abad ke – 18 dan Jepang pada tahun 1940. Etnis Rohingnya adalah salah satu etnis yang berada di Myanmar yang merupakan etnis yang beragama islam dan menjadi kaum minoritas karena Negara Myanmar sebagian besar penduduknya beragama Budha. Di bawah kolonial Inggris etnis Rohingnya cenderung pada masa perdamaian. Namun pada masa Jepang, pernah terjadi konflik komunal antara etnis Rakhine dan Rohingnya di wilayah Arakhan. Pada masa pasca Myanmar merdeka justru etnis Rohingnya menjadi etnis yang berperan dalam pemerintahan Myanmar (Jenderal Aung San) dibuktikan dengan beberapa orang Rohingnya menjadi menteri kabinet Myanmar. Namun, pada tahun 1962 ketika Jenderal Ne Win melakukan kudeta hingga Ne Win menjadi Presiden, sistem politik Myanmar berubah menjadi lebih otoriter. Banyak etnis minoritas yang menjadi korban karena dianggap tidak loyal hingga ingin memisahkan diri dari Myanmar salah satunya adalah Etnis Rohingnya yang baginya adalah sebuah ancaman, sehingga dilancarkanlah sebuah operasi untuk menumpas pergerakan separatis dan mengontrol penduduk Rohingnya tahu 1978 sehingga mengakibatkan hijrahnya Etnis Rohingnya dari Myanmar ke Bangladesh. Dalam masa ini Etnis Rohingnya mengalami kondisi yang berat dimana adanya diskriminasi skala besar yang dilakukan oleh pemerintah Junta Militer Myanmar dan upaya – upaya paksa untuk memengaruhi Etnis Rohingnya menjadi beragama Budha dan adanya provokasi dari pihak luar agar memojokkan Etnis Rohingnya . Pemberitaan tentang Etnis Rohingnya tentang fakta – fakta tentang adanya konflik Rohingnya memancing kemarahan Etnis Rakhine. Pada Juli 2012 Konflik ini memuncak dengan adanya pembakaran besar besaran terhadap perumahan yang dihuni oleh Etnis Rohingnya oleh etnis Rakhine bahkan terdapat juga polisi dan tentara Myanmar terprovokasi kedua etnis tersebut dan turut menyerang perkampungan Rohingnya.
Melihat kondisi yang seperti ini, dunia internasional
terkejut karena dalam waktu bersamaan Myanmar sedang mengalami proses
demokrasi. PBB dan Uni Eropa mengecam kekerasan yang terjadi pada konflik
tersebut namun tidak menyalahkan pemerintahan Myanma sebagai penyebab konflik. Lembaga
lain seperti Amnesty Internasional dan Organisasi HAM dunia menilai bahwa
pemerintah Myanmar telah melakukan diskriminasi secara sistematis terhadap
penderitaan Etnis Rohingnya yang menyebabkan penderitaan Etnis Rohingnya yang tak kunjung usai. ASEAN sebagai organissi
regional di Asia Tenggara mencoba merespon kasus konflik Rohingnya secara hati
hati. Ini dikarenakan ASEAN menganut prinsip non intervensi yaitu prinsip untuk memastikan bahwa masalah setiap
negara harus diurus masing - masing tanpa adanya campur tangan pihak luar. Negara-negara
ASEAN setuju bahwa masalah Rohingnya adalah masalah domestic dan merupakan
sebuah konflik komunal, bukan konflik religius. Namun upaya proaktif untuk
menyelesaikan konflik Rohingnya terus diupayakan terutama oleh Indonesia
sebagai negara senior di ASEAN. Indonesia secara aktif mengirimkan misi-misi
diplomasi kemanusiaan ke Myanmar melalui berbagai aktor, mulai dari aktor
pemerintahan sampai aktor individu. Peran ASEAN dalam penyelesaian konflik
menekankan pada pendekatan diplomatik dan kekeluargaan. Pada pertemuan ASEAN ke
42 di Thailand menekankan pendekatan soft
way yang leboh menitik beratkan pada proses meyakinkan pemerintah berkuasa
Myanmar bahwa ASEAN akan terus mendukung langkah – langkah strategis yang dibutuhkan
untuk menekan angka kekerasan yang terjadi di Myanmar. ASEAN sendiri akan
menempatkan diri sebagai forum untuk mendiskusikan masalah – masalah yang
terjadi dan bukan sebagai aktor utama yang berhak melakukan tindakan kepada negara anggotanya. Salah
satu upayanya adalah dengan menggelar The ASEAN Inter – Parliamentary Caucus
yaitu komisi khusus yang dibentuk untuk menangani isu Myanmar . Pada pertemuan di
Bali, AIPMC menghimbau Presiden Myanmar Thein Sein untuk melanjutkan tugasnya
memajukan proses demokratisasi dan penegakan Hak Asasi Manusia di Myanmar.
“Myanmar harus mengambil langkah-langkah konkret dan maju menuju perundingan
damai dengan kelompok-kelompok etnis yang bersenjata sebagai prasyarat untuk
kemajuan demokrasi" bunyi pers release pertemuan pada 29 November 2011
tersebut. Prinsip non-interference yang diterapkan ASEAN selama ini telah
menjadikan Asia Tenggara sebagai salah satu kawasan yang memiliki tingkat
stabilitas dan perdamaian terbaik dibandingkan kawasan negara berkembang
lainnya. ASEAN selain sebagai penggerak utama pertumbuhan politik di kawasan,
juga mampu menciptakan partisipasi yang aktif dan rasa saling memiliki seluruh
anggota.
Kesimpulan :
Upaya ASEAN sebagai organisasi regional yang ada di kawasan Asia Tenggara dalam menangani kasus konflik komunal yang ada di Myanmar yang terjadi antara etnis minoritas dan mayoritas, ASEAN berperan dalam mengelola konflik dengan membetuk komisi khusus yang menangani konflik di Myanmar, dan negara – negara ASEAN juga menekan kepada pemerintah Myanmar supaya mengakhiri dan menyelesaikan kerusuhan antara minoritas Rohingnya dan mayoritas Rakhine. Prinsip non – interference yang diterapkan ASEAN selama ini telah menjadikan Asia Tenggara sebagai salah satu kawasan yang memiliki tingkan stabilitas dan perdamaian terbaik dibandingkan dengan kawasan berkembang lainnya.
Upaya ASEAN sebagai organisasi regional yang ada di kawasan Asia Tenggara dalam menangani kasus konflik komunal yang ada di Myanmar yang terjadi antara etnis minoritas dan mayoritas, ASEAN berperan dalam mengelola konflik dengan membetuk komisi khusus yang menangani konflik di Myanmar, dan negara – negara ASEAN juga menekan kepada pemerintah Myanmar supaya mengakhiri dan menyelesaikan kerusuhan antara minoritas Rohingnya dan mayoritas Rakhine. Prinsip non – interference yang diterapkan ASEAN selama ini telah menjadikan Asia Tenggara sebagai salah satu kawasan yang memiliki tingkan stabilitas dan perdamaian terbaik dibandingkan dengan kawasan berkembang lainnya.
Kelebihan Jurnal :
Kelebihan dari jurnal ini adalah pembahasan dan pemaparan yang jelas serta terstruktur mulai dari latar belakang terjadinya konflik , faktor pemicu konflik hingga peranan ASEAN dalam menyelesaikan konflik. Sehingga dapat memberikan gambaran bagaimana sebenarnya konflik etnis di Myanmar dan bagaiamana peran ASEAN yang termasuk organisasi regional dalam menyelesaikan konflik etnis di Myanmar.
Kelebihan dari jurnal ini adalah pembahasan dan pemaparan yang jelas serta terstruktur mulai dari latar belakang terjadinya konflik , faktor pemicu konflik hingga peranan ASEAN dalam menyelesaikan konflik. Sehingga dapat memberikan gambaran bagaimana sebenarnya konflik etnis di Myanmar dan bagaiamana peran ASEAN yang termasuk organisasi regional dalam menyelesaikan konflik etnis di Myanmar.
Kekurangan Jurnal :
Kekurangan dari jurnal ini adalah tidak adanya scope temporal sehingga pembahasannya terlalu luas yaitu mulai tahun 1940 – 2012. Serta kurangnya pembahasan tentang respon Myanmar terhadap upaya yang dilakukan oleh ASEAN dalam menyelesaikan konflik etnis dan bagaimana dampak dari upaya tersebut terhadap konflik etnis di Myanmar.
Kekurangan dari jurnal ini adalah tidak adanya scope temporal sehingga pembahasannya terlalu luas yaitu mulai tahun 1940 – 2012. Serta kurangnya pembahasan tentang respon Myanmar terhadap upaya yang dilakukan oleh ASEAN dalam menyelesaikan konflik etnis dan bagaimana dampak dari upaya tersebut terhadap konflik etnis di Myanmar.