Jumat, 03 April 2020

ANALISIS BUKU TENTANG AGRARIA 1.


ANALISIS RESENSI BUKU TENTANG AGRARIA
OLEH : SOFI LAILATUL ZAHRO
Indonesia adalah Negara yang memiliki daratan yang lebih luas dari pada lautan yang sehingga berdampak juga bagi kelangsungan hidup penduduknya. Pengaruh terbesar bagi kehidupan penduduk di Indonesia bisa dilihat dari sebagian  mata pencaharaian penduduknya yaitu petani yang disebut Negara Agraris. Memang mengenai agraria tidak melulu tentang persawahan atau perkebunan akan tetapi mengenai tanah serta kepemilikan tanah dan masalah yang ada di atasnya seperti persengketaan tanah yang biasanya dilakukan oleh pemerintah dengan rakyat. Sebenarnya hal tersebut sudah menjadi maklum karena para penguasa selalu menggunakan dalih untuk kepentingan rakyat. Masalah tanah tidak aka nada habisnya selama manusia masih hidup pasti ada saja meskipun dalam lingkup kecil antar keluarga atau lingkup besar seperti negara.
Sesuai judul yang telah saya berikan diawal, blog ini akan berisi mengenai masalah agraria akan tetapi lebih spesifik pada menganalisi tiga buku yang sama – sama membahas tentang agraria. Disini saya mengambil tiga buku dengan judul : Hukum Pertanahan yang ditulis oleh Ahmad Setiawan, S.H., M.H lalu buku yang berjudul Sengketa Agraria (Pengusaha Perkebunan Melawan Petani) yang ditulis oleh Karl J. Pelzer dan yang terakhir buku yang berjudul Reforma Agraria Land Reform dan Redistribusi Tanah di Indonesia yang ditulis oleh  Buku: Reforma Agraria Land Reform dan Redistribusi Tanah di Indonesia
Penulis: Diyan Isnaeni, S. H., M. Hum dan  Dr. H. Suratman, S. H., M. Hum.
1.      Judul : Hukum Pertanahan   : Ahmad Setiawan, S.H., M.H
Resensi Buku Hukum Pertanahan
(Pengaturan, Problematika dan reformasi Agraria)
Penerbit                       : LaksBang Justitia
Tempat Terbit              : Yogyakarta
Tahun Terbit                : September, 2019
Cetakan                       : I
Ukuran                                    : 230 x 160 mm
Jumlah Halaman          :  V, 257 hlm
ISBN                           : 978-623-91615-0-7
Harga                          : -
Waktu Resensi            : 20 Maret 2020
Resensi Oleh               : Rima Riski Nur Laila (180110301008)
Hasil Resensi :  
Buku dengan judul Hukum Pertanahan (Pengaturan, Problematika dan Reformasi Agraria) yang ditulis oleh Ahmad Setiawan, S.H., M.H menguak tentang hukum dalam pertahanan mengenai pengaturan, problematika dan reformasi agraria. Pada buku bagian pengaturan membahas mengenai pendaftaran tanah yang ada di Indonesia, hak menguasai negara ata tanah, serta fungsi sosial atas tanah. Pada bagian problematika pertahan di jelaskan khususnya pada sengketa pertanahan dan bagaimana cara atau upaya untuk penyelesaiannya. Di bagian akhir buku yang di tulis Ahmad Setiawan, S.H., M.H membahas mengenai reformasi agraria, kekosongan hukum di bidang pertanahan yang menjadikan perlunya dilakukan reformasi serta tujuan dari reformasi agraria adalah untuk menjamin hukum.
Tanah merupakan harta yang sangat berharga, dan masalah ataupun persoalan tanah di dunia tidak akan pernah ada habisnya. Dimana tanah sendiri memiliki fungsi yang sangat penting bagi manusia untuk menjamin kehidupan serta kemakmuran. Tanah juga memiliki fungsi ganda yaitu tanah sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan sebagai sumber kehidupan. Sedangkan capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan. Tanah bersifat permanen yaitu tidak dapat berubah naik,turun,atau menghilang lenyap dengan mudah seperti property lainnya sehingga dapat dicatat atau direkam sampai kapanpun.
Tanah harus mempunyai kedudukan yang sangat viral dalam upaya penyelesaian kasus-kasus pertanahan karena dalam kegiatan pendaftaran tanah terdapat proses pemetaan tanah dan pencatatan subyek dan obyek tanah sehingga dapat memberikan jaminan kepastian hukum hak-hak atas tanah. Pendaftaran tanah merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat guna memperoleh kepastian hukum yaitu memperoleh perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Sedangkan pentingnya pendaftaran tanah bagi pemerintah diantaranya adalah informasi kepada pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. Adapun dasar hukum pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia adalah Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Setiap hak mempunyai fungsi sosial dalam arti bahwa kekuasaan yang dimiliki seseorang dibatasi oleh kepentingan masyarakat  sehingga dalam konsep fungsi sosial tidak ada hak subyektif, namun yang ada hanya fungsi sosial. Hak milik yang memiliki fungsi sosial sebelumnya mendasarkan atas individu. Oleh karena itu penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan pemilik maupun bagi masyarakat dan negara.
Masalah pertanahan adalah masalah yang sangat rumit, seperti sengketa pertanahan ataupun kasus pertanahan. Menurut peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. III tahun 2011 tentang pengelolaan pengkajian dan penanganan kasus pertanahan,permasalahan atau kasus pertanahan Ada tiga kelompok kasus pertanahan yaitu sengketa pertanahan , konflik pertanahan, dan perkara pertanahan yang membutuhkan penanganan atau penyelesaian sesuai peraturan perundang-undangan dan atau kebijakan pertanahan nasional.
Adapun upaya untuk penyelesaian tanah seperti memlalui jalan arbitrase. Arbitrase adalah penyelesaian sengketa diluar pengadilan atau dengan jalan konsiliasi dan meditasi yaitu intervensi dari perantara yang terampil dan tidak memihak untuk memfasilitasi penyelesaian negoisasi yang dapat  diterima bersama tentang isu-isu yang merupakan substansi perselisihan antar para pihak.
Selanjutnya pada bagian akhir buku yang ditulis oleh Ahmad Setiawan, S.H., M.H dengan judul Hukum Pertanahan (Pengaturan, Problematika dan Reformasi Agraria) memaparkan tentang reformasi agraria. Reformasi Agraria ialah suatu penataan kembali (penataan ulang) susunan kepemilikan,penguasaan,dan penggunaan sumber-sumber agraria (terutama tanah) untuk kepentingan rakyat kecil seperti petani, buruh tani, tunawisma, dan lain-lainnya secara menyeluruh dan komperhensif (lengkap).
Adapun kekurangan dan kelebihan dalam buku yaitu, Kelebihan dari buku yang ditulis Ahmad Setiawan, S.H., M.H adalah  mampu memaparkan secara sederhana mengenai pengaturan hukum tentang pertanahan, problematika dalam pertanahan serta cara penyelesainnya. Sedangakan kekurangan yang terdapat dalam buku adalah masih banyak tulisan yang salah ketik (typo).

2.        Sengketa Agraria (Pengusaha Perkebunan Melawan Petani) karya  Karl J. Pelzer
Penerbit         : Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Tahun terbit  : 1991
Cetakan          : Pertama untuk buku terjemah
Halaman        : 226 Halaman
Resensi  
Dalam sejarah sosial suatu masyarakat, ternyata suatu fenomena khusus sering mengimplikasikan masalah-masalah yang jauh lebih dalam. Fenomena sengketa pertanahan, misalnya, mengimplikasikan masalah seperti perubahan yuridis menyangkut undang-undang pemilikan tanah, perubahan teknologis berkenaan dengan metode pertanian, perubahan ekonomi menyangkut penanaman modal, pemasaran dan ketenagakerjaan, perubahan politik menyangkut hubungan kekuasaan, perubahan sosiologis berhubungan dengan struktur masyarakat, dan perubahan kultural yang berkenaan dengan pemahaman diri.
            Sengketa agraria antara pengusaha perkebunan melawan petani, tidak bisa atau tidak harus dilihat sebagai akibat dari konstelasi kompleksitas permasalahan tersebut di atas, yang semuanya itu dapat dikembalikan ke satu masalah inti yaitu masalah yuridis: “siapa yang berhak dan hak apa yang dapat dilaksanakannya” – suatu masalah yang tidak pernah terselesaikan dengan tuntas.
            Sengketa agraria yang dituliskan oleh Karl J. Pelzer dalam buku ini, meskipun terjadi dalam kurun waktu yang lampau tetap merupakan sebagai bahwa sebagai bukti tentang masalah-masalah agraria yang terjadi baik di masa sekarang bahkan mungkin bisa terjadi di masa yang akan datang.
Kekurangan :
Buku ini termasuk buku yang penyampaiannya kurang lengkap terkadang tidak disertai tanggal dan juga kurangnya kalimat penjelas atau penjabaran dari kalimat-kalimat atau perihal yang dijelaskan yang terkadang membuat pembaca bingung membacanya. Selain itu, buku ini termasuk buku yang lama yang membuat ejaan-ejaan yang tertulis dalam buku ini masih mengikuti Ejaan Yang Disempurnakan versi lama tetapi hal itu tidak mengurangi pemahaman pembaca saat membaca kata-kata yang tidak sesuai dengan kaidah di masa sekarang.
Kelebihan :
Buku ini memiliki penjelasan bab-bab yang jelas. Buku ini membahas banyak masalah sengketa-sengketa tanah yang mengharuskan sebegai penulis memiliki pembatas atau pembeda saat terdapat perpindahan cerita atau pembeda antara masalah satu dengan masalah lain atau juga pembeda antara sebelum dan sesudah terjadi kejadian. Buku ini juga memiliki halaman khusu untuk singkatan-singkatan yang memudahkan pembaca memahami singkatan-singkatan.

3.      Reforma Agraria Land Reform dan Redistribusi Tanah di Indonesia
Penulis: Diyan Isnaeni, S. H., M. Hum dan  Dr. H. Suratman, S. H., M. Hum






Penerbit
:
Intrans Publishing, Malang, Oktober 2018
Tebal Buku
:
15,5cm X 23cm; hlm xiv + 290
ISBN
:
978-602-6293-56-5




Persoalan tanah tampaknya tidak akan ada habisnya untuk dibicarakan. Sengketa tanah dapat ditemukan nyaris pada setiap tingkat kehidupan masyarakat. Tanah terkadang masih menjadi objek perebutan antar keluarga karena persoalan waris. Tak jarang tanah juga menjadi rebutan antara warga dan pemerintah dengan dalih penataan kota, sehingga warga yang merasa telah memiliki tanah karena telah hidup diatasnya selama bertahun-tahun menjadi tergusur. Sejak awal abad 19, penindasan dan eksploitasi secara terus menerus dilakukan oleh kaum feodal dan kaum hartawan yang berkuasa terhadap para penggarap kebun dan para petani. Kemudian dilanjutkan tanam paksa dan hasil-hasil ekspor untuk perusahaan pertanian asing dan diakhiri oleh politik agraria 1870 selama bertahun-tahun sebelum Perang Dunia II. Bahkan, setelah masa kemerdekaan pun, tanah masih menjadi saksi pengusiran, intimidasi, serta digunakan untuk tindak kekerasan yang dilakukan oknum korporasi perkebunan yang didukung pemerintah setempat terhadap para penggarap.
Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari tanah, maka tidak heran jika semakin luas tanah yang dimiliki oleh seseorang, semakin kuat pula kekuasaan yang dimilikinya. Sejak Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 disahkan pada tanggal 24 September 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berlakulah hukum agraria nasional yang mencabut peraturan dan keputusan yang dibuat pada masa pemerintahan Hindia Belanda, antara lain Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55 dan Agrarische Besluit Stb 1870 No.118 serta peraturan pelaksanaannya. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 ini lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pendaftaran tanah bertujuan memberikan jaminan kepastian hukum (Rechtskadaster) dan menetapkan siapa yang wajib membayar pajak atas tanah (Fiscaal Cadaster).
Pengesahan UUPA merupakan upaya untuk mengubah struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang eksploitatif, seperti pembatasan penguasaan tanah pertanian, kewajiban untuk mengerjakan sendiri tanah pertanian, larangan kepemilikan tanah absentee (tanah yang letaknya berjauhan dengan pemiliknya), serta asas-asas lainnya. Upaya-upaya tersebut dinamakan dengan program landreform (Reformasi Tanah). Salah satu kegiatan yang sangat berpengaruh dalam program ini adalah redistribusi tanah. Kegiatan ini merupakan salah satu sebab berubahnya struktur pemilikan tanah di Indonesia saat ini. Karena melalui redistribusi tanah, para penggarap tanpa tanah memperoleh tanah yang sebelumnya hanya dimiliki oleh para tuan tanah.
Buku ini merupakan hasil penelursuran dari Diyan Isnaeni, S.H., M.H. dan Dr. H. Suratman, S.H., M.Hum. terhadap norma-norma yang mendasari pelaksanaan redistribusi tanah serta hasil atas implementasi norma-norma tersebut. Didalam buku ini juga dapat ditemukan diskursus berkaitan dengan hak-hak atas tanah beserta alat-alat bukti yang dapat membuktikan kepemilikan atas hak-hak tersebut.
Dalam penyusunan buku ini, Diyan Isnaeni, S.H., M.H. dan Dr. H. Suratman, S.H., M.Hum mampu memaparkan isi buku ini secara sederhana dan dapat membantu dalam memahami implementasi redistrubusi tanah serta dapat memperluas cakrawala pengetahuan dibidang pertanahan yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Akan tetapi, terdapat beberapa kata dan kalimat yang masih menggunakan bahasa asing tanpa diberi arti atau penjelasan dalam  bahasa Indonesia, sehingga membuat pembaca yang tidak memiliki kemampuan multibahasa tidak akan paham dan mengerti.


 KESIMPULAN DARI RESENSI BUKU :
BUKU 1.
Buku ini sangat intens dalam menerangkan hokum pertanahan yang mana didalamnya membahas mengenai pengaturan, problematika dan reformasi agraria. Dalam penyampaian buku ini lebih mendalam mengenai hukum agraria yang ada di Indonesia yang mana didalam nya menyangkut masalah pendaftaran tanah yang mana bisa menjamin kepemilikan tanah. Di dalam buku ini menjelaskan bahwa tanah memang sangat berharga bagi manusia sebagai asset atau harta sehingga dalam hal pendaftaran tanah sangat diperlukan dengan mempertahankan tanah. Di dalam buku ini juga menjelaskan masalah problematika yang sangat rumit seperti masalah pertahanan yang menyangkut dengan hukum. Selain itu juga menjelaskan masalah reformasi agraria dibagian akhir buku yang dijelaskan secara menyeluruh dan komperhensif.
BUKU 2.
Buku yang kedua ini lebih menjelaskan tentang sengketa tanah yang terjadi antara pengusaha perkebunan melawan petani. Dalam buku ini menjelaskan tentang sejarah sosial rakyat melalui fenomena sengketa pertanahan. Di dalam resensi buku ini, menjelaskan buku ini ditulis pada masa lampau sehingga bisa dijadikan bukti tentang masalah – masalah agrarian yang terjadi di masa sekarang.
BUKU 3.
Buku ini lebih menjelaskan tentang reformasi agraria dan redistribusi tanah yang ada di Indonesia. Yang mana reformasi dan redistribusi tanah ini sangat berkesinambungan yang menyebabkan berubahnya struktur pemilikan tanah di Indonesia saat ini. Landreform ini merupakan salah satu kegiatan yang berpengaruh dalam perestribusian tanah karena melalui redistribusi tanah para penggarap tanpa tanah memperoleh tanah yang sebelumnya hanya dimiliki oleh para tuan tanah. Buku ini merupakan hasil penelusuran si penulis buku terhadap norma – norma yang mendasari pelaksanaan redistribusi tanah serta implementasi norma – norma tersebut.

HASIL ANALISIS:
Tiga buku ini mempunya nilai sumbang tersendiri dalam dunia pendidikan yang khususnya pada mahasiswa sejarah. Dari ketiga buku ini sama – sama menjelaskan mengenai masalah pertanahan yang ada di Indonesia  akan tetapi memiliki focus sendiri – sendiri .Buku 1 yang lebih intens dalam menjelaskan masalah mengenai hukum pertanian , masalah yang ada didalamnya dan membahas reformasi agraria sedangkan Buku 2 dan Buku 3 lebih menjelaskan tentang masalah pertanian seperti sengketa tanah , reformasi agrarian serta redistribusi tanah.
Meskipun Buku 1 lebih lengkap yang menggambarkan secara umum mengenai hukum pertanahan  tapi buku 2 dan 3 yang merupakan masalah yang ada di dalam hukum pertanahan tidak kalah juga dalam menambah wawasan terkait dengan agraria. Seperti buku 2 yang merupakan buku yang ditulis pada zaman dulu sehingga bisa dijadikan bukti sejarah melalui dokumen yang sejaman karena didalamnya yang menjelaskan masalah persengeketaan tanah yang bisa dijadikan pembelajaran dimasa kini. Dan bagi yang ingin mengetahui masalah redistribusi tanah yang ada di Indonesia bisa memilih Buku 3.
Dari keterangan diatas ketiga buku itu merupakan buku yang bisa dijadikan rujukan dalam menulis persoalan tanah serta hukum pertanahan yang pada intinya tulisan yang menyangkut masalah agraria yang ada di Indonesia, karena banyak pelajaran dari rekam jejak masa lalu yang bisa menyelesaikan masalah pertanahan atau masalah agraria yang ada di Indonesia saat ini.
 kririk saran diperlukan dari kalian, mohon maaf karena tulisan ini sebenarnya sudah saya upload sebelum analisis buku tentang agraria yang kedua akan  tetapi tulisan ini  terhapus dari beranda blog saya. Mohon maaf dan terimakasih :) .


Kamis, 02 April 2020

ANALISIS BUKU TENTANG AGRARIA 2


 ANALISIS RESENSI BUKU TENTANG AGRARIA
OLEH : SOFI LAILATUL ZAHRO
Setelah mempelajari masalah agraria dan perselisihan yang ada di dalamnya maka, blog ini akan terfokus mengenai masalah  penguasaan dan kepemilikan tanah. Tanah yang menjadi sumber perselisihan antara masyarakat atau rakyat dengan pemerintah atau masalah antar masyarakat tentu saja ada hubungannya mengenai penguasaan tanah ,  kepemilikan tanah dan hak milih tanah di Indonesia.
Dari beberapa resensi buku yang ada saya sebagai penulis blog ini memilih tiga resensi buku yang mendukung pembelajaran agraria yang khususnya masalah kepemilikan tanah. Buku itu antara lain : Pola Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan Tanah Secara    Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta penulis  Drs. Gatut Murniatmo, dkk yang kedua buku yang berjudul Pola Penguasaan, Penguasaan , Pemilikan dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Kalimantan Barat yang ditulis oleh Y.C.Thambun Anyang,SH.  dan  yang terakhir buku yang ditulis S.M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi dengan judul buku Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa
Berikut adalah resensi dari tiga buku tersebut :
1.      POLA PENGUASAAN, PEMILIKAN, PENGGUNAAN TANAH  SECARA TRADISIONAL DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
P                             Penulis                    ː  1. Drs. Gatut Murniatmo
                                   2. Murianto Wiwoho, SH
                                   3. Poliman, BA                                                    
                                   4. Suhatno, BA
Penerbit                   ː Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Jumlah Halaman      ː 208 halaman
Oleh                         : Rani Nur Puji
Buku ini berisi tentang penelitian penguasaan, pemilikan, penggunaan tanah secara tradisional di daerah Yogyakarta. Buku ini mencakup penelitian di daerah pedesaan Yogyakarta yakni, desa Banaran, Kecamatan Galur, Kulon Progo dan desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul sebagai lokasi penelitian. Di dalam buku ini peneliti mecoba menjelaskan serta menceritakan bagaimana pola penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah dari masa sebelum penjajahah, masa Belanda, masa Jepang hingga masa kemerdekaan. Tak hanya itu penulis juga menjelaskan tentang pranata-pranata sosial yang berlaku di dalam pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah. Pola penguassan tanah pada mulanya di pegang oleh seorang yang sangat berpengaruh di suatu daerah seperti raja. Dari perkembangan ten tang pertanahan di Daerah lstimewa Yogyakarta, baik mengenai penguasaan; pemilikan maupun penggunaannya berasal dan bersumber kepada pranata-pranata yang dikeluarkan oleh Kasultanan (Rijksblad Kasultanan dan Rijksblad Paku Alaman). lni berarti segalanya berorientasi kepada kekuasaan raja. Raja atau Sultan di sini merupakan satu-satunya penguasa wilayah yang tertinggi yang menjadi pusat sembahan dan dambaan para kawulo dalem. Pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta diatur oleh pranata-pranata hukum adat dan pranata lain yang bersumber pada aturan-aturan atau pranata dari kerajaan (Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alanian) yang kenyataannya sampai sekarang masih berpengaruh.
Kelebihan Buku
Di dalam buku ini penulis menuliskan secara rinci bagaimana mereka mengumpulkan sumber dan metode-metode yang mereka pakai, sehingga hal ini dapat membantu pembaca mengetahui metode apa yang mereka pakai.
Kekurangan Buku                   
Buku ini jika untuk sejarawan cakupannya terlalu luas, lingkup temporalnya terlalu luas karena penulis tidak membasuh skup spasialnya, sehingga pembahasannya pun tidak secara mendetail. Dan juga buku ini hanya milik Depdikbud tidak diperjual belikan atau diperdagangkan.
Manfaat Buku
Manfaat buku ini memberikan pandangan tentang sejarah agraria untuk mahasiswa sejarah yang sedang menempuh mata kuliah sejarah agraria, karena di dalam buku juga tercakup sejarah atau asal usul pola-pola penguasaan, pemilikan, penggunaan tanah secara tradisional di Yogyakarta.                                                       
  
2.      " DUA ABAD PENGUASAAN TANAH, POLA PENGUASAAN TANAH PERTANIAN DI JAWA DARI MASA KE MASA"
Judul Buku      : DUA ABAD PENGUASAAN TANAH, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa
Penulis             : S.M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi
Penerbit           : Yayasan Obor Indonesia
Tahun Terbit    : 2008
Cetakan           : Edisi Revisi
Jumlah Halaman : 540 halaman
ISBN                     : 978-979-461-685-7
Harga                   : Rp. 120.000
Resensi Oleh        : Nur Anawatiningrum
Buku yang ditulis oleh S.M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi ini merupakan karya dimana di dalamnya membahas tentang pertanahan di daerah Jawa, khususnya tanah pertanian. Buku ini sangat cocok bagi mahasiswa/i sejarah, dimana matakuliah agraria (pertanahan) ini merupakan matakuliah wajib. Pada awal pembahasan dalam buku ini membahas tentang penguasaan tanah dimana seperti yang dijelaskan bahwa pada saat itu sistem penguasaan tanah bersifat feodalisme/raja yang menguasai dan menjadi pemilik tanah. Tanah memiliki makna penting jika dilihat dari beberapa sudut pandang, dari sudut pandang ekonomi tanah merupakan faktor penting dalam produksi, sedangkan dalam sudut pandang politik tanah dapat dijadikan aspek kekuasaan oleh orang-orang tertentu.
Dalam buku ini dijelaskan beberapa pola penguasaan tanah yang terjadi di pedesaan, dimana
dengan adanya pola-pola tersebut dapat merubah pranata sosial dalam masyarakat. Salah satu ciri penting struktur pertanahan di Jawa adalah terdapat beberapa macam bentuk pemilikan tanah. Masyarakat pedesaan cenderung terbagi menjadi kelas-kelas yang didasarkan pada jangkauan terhadap hak-hak tanahnya. Pembahasan dalam buku ini beberapa menjelaskan bahwa pemilikan tanah pertanian hanya terpusat kepada beberapa orang saja, sehingga terdapat beberapa perubahan atau tingkatan sosial dalam masyarakat sendiri yaitu terdapat beberapa golongan dalam masyarakat. Terdapat juga beberapa bahasan mengenai UUPA dan juga ada beberapa tabel yang menjelaskan tentang pertanahan di Jawa.
            Buku ini cocok bagi mahasiswa prodi Ilmu Sejarah sebagai bahan bacaan untuk matakuliah “Sejarah Agraria” karena di dalamnya banyak pembahas tentang sistem pertanahan di Jawa pada saat masa kolonial dan sesudahnya.
Kelebihan        : Dalam buku ini terdapat peta dan beberapa tabel di dalamnya sehingga memudahkan pembaca untuk melihat letak serta jumlah kepemilikan tanah di daerah Jawa. Buku ini juga memuat banyak referensi dan terdapat beberapa sub-bab yang runtut sehingga sangat cocok untuk bahan bacaan bagi mahasiswa.
Kekurangan     : Dalam buku ini memuat banyak kata daerah yang artinya susah dipahami dan dibedakan seperti sikep, numpang, gogol, indung dan lainnya yang diulang-ulang dibeberapa halaman, sehingga membuat pembaca sedikit kebingungan.
3.      BUKU BERJUDUL POLA PENGUASAAN, PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN TANAH SECARA TRADISIONAL KALIMANTAN BARAT
Penulis               : Y.C.Thambun Anyang,SH. 
Penerbit             : Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan 
Kota penerbitan : Jakarta
Dicetak tahun     : 1989
Jumlah halaman : 96
Oleh                   : Risma Riskyana
BAB.1PENDAHULUAN
Disini membahas mengenai dari hubungan yang erat dan bersifat religio magis inilah yang menyebabkan persekutuan dan warganya memperoleh hak untuk menguasai memiliki dan menggunakan tanah secara tradisonal. Ada beberapa masalah yang mendorong dilakukannya penelitian terhadap pola penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah secara tradisional:
           Adanya ketidakjelasan dari pola-pola tersebut yang kadang menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial dibeberapa daerah.
           Berlakunya UUPA (UU no.5 tahun 1960) menimbulkan perubahan atau pola baru dalam hal penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah, dengan dengan berlakunya UU no.5 tahun 1979 sedikit banyak akan mempengaruhi pola-pola tradisional tersebut.
           Belum diketahui data dan informasi tentang pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah secara tradisional yang dapat dijadikan bahan kebijaksaan pembinaan kebudayaan serta bahan studi
BAB 2 IDENTIFIKASI
Membahas mengenai lokasi dan letak daerah di Kecamatan Sintang, kecamatan Sintang merupakan salah satu  kecamatan yang ada di kabupaten daerah tingkat II Sitntang yang terdiri atas 111 desa dan 6 kelurahan. Daerah kecamatan Sintang beriklim tropis dengan dua musim, yaitu penghujan dan musim kemarau. Batas kecamatan Sintang:
1.         Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan tempunak dan kecamatan sepauk
2.         sebelah timur berbatasan dengan kecamatan debai dan kecamatan kayan hilir
3.         sebelah utara berbatasan dengan kecamatan ketungau hilir dan kecamatan silat
4.         sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan belimbing.
Jenis tanah adalah tanah latosol dan andosol. jenis tumbuhan yang tumbuh didaerah ini antara lain tengkawang, kebaca, tekam, jelutung, meranti, ramin, rotan, bahan rakit dan banyak lagi tumbuhan lainnya. Upacara adat masih dilakukan, walaupun sudah ada penyesuaian dengan kepercayaan agama yang mereka anut sekarang. Dalam setiap upacara adat, selalu ada sesajen untuk dipersembahkan kepada para arwah nenek moyang dan para makhluk halus. Maksud persembahan tersebut adalah untuk menolak mala petaka yang datangnya dari roh jahat. Tempat-tempat upacara ada yang dilaksanakan di tanah, rumah, dan ada pula yang di air. Khusus untuk kepentingan pengobatan orang sakit, ada pemeberian sesajen untuk orang sakit yang disebut pedarak pegelak.

BAB 3 SEJARAH TENTANG TANAH
1.         Masa Sebelum Penjajahan, pada masa sebelum penjajahan tanah dikuasai oleh masyarakat persekutuan adat setempat yang meliputi tanah-tanah pertanian dan hutan. Setiap warga atau anggota masyarakat persekutuan adat yang ingin membuka hutan untuk diusahakan sendiri sebagai tempat bercocok tanam harus meminta izin kepada kepala persekutuan adat. Hutan yang telah dibuka dan digarap pertama kali oleh seorang, misalnya untuk perladangan, selalu diberi tanda dan sejak didarap pertama kali itulah tanah tersebut sudah menjadi tanah miliknya. Seorang yang telah memperoleh izin membuka hutan diumumkan kepada warga masyarakt setempat oleh kepala persekutuan adat. Dalam pemberian izin melibatkan beberapa orang warga setempat untuk dijadikan saksi.
2.         Masa Belanda, pada masa penjajahan Belanda, tanah milik adat bumi putera diakui dan dlindungi, bahkan oleh pemerintah Belanda, rakyat dianjurkan memelihara hutan, tengkawang, menaman karet, dan berbagai tanaman yang mengahasilkan. Hak-hak rakyat atas tanah tetap dipertahankan, akan tetapi rakyat diharuskan membayar belasting kepada pemerintah Belanda. Pada masa itu juga harus dilaksanakan sistem tanam paksa.
3.         Masa Jepang, pada masa penjajahan Jepang bidang penguasaan tanah tidak mengalami perubahan, sama seperti pada masa Belanda, hanya apa yang disebut belasting tidal lagi diberlakukan kepada anggota masyarakat. Temenggung dan kepala kampung sebagai kepala persekutuan adat tetap berfungsi dan terlibat dalam pengurusan penguasaan tanah. Pada masa ini juga, rakyat disuruh menanam padi dan palawija ditanah-tanah perkebunan, pegunungan dan tanah kehutanan.
4.         Masa Kemerdekaan, pada masa kemerdekaan, tanah dalam wilayah kampung di kuasai oleh masyarakat kampung itu sendiri. Tanah yang dikuasai oleh masyarakat, yaitu:
o          Tanah laman adalah tanah pekarangan
o          Tanah bawas ladang adalah tanah bekas ladang
o          Tanah perkuburan adalah tanah yang digunakan untuk kuburan
o          Tanah mali adalah tanah yang pantang digarap
o          Tanah rimba adalah tanah hutam tempat mengambil ramuan rumah dan hasil hutan serta sebagai tempat perburuan.
BAB 4 POLA PENGUASAAN TANAH
Kedudukan pemilik tanah adat perorangan dibatasi oleh hak ulayat dan fungsi sosial tanah. Seorang yang dimiliki sebidang tanah sebidang tanah berkedudukan sebagai pemegang hak perorangan. Oleh karena itu, ia berwenang mengatur penggunaan tanah yang dimilikinya sepanjang tidak tidak bertentangan atau tidak merugikan hak-hak persekutuan tanah dalam wilayah kampung atau ketemanggungan. Hubungan perseorangan antara seorang warga persekutuan dengan tanah dimulai sejak pertama kali mengerjakan tanah. Hubungan perseorangan itu harus bersifat terang, yang artinya sepengetahuan dan seizin kepala kampung atau kepala adatnya dan telah memberikan tanda-tanda yang dapat dimengerti ole seluruh warga masyarakat setempat.
Tanah kampung atau tanah persekutuan dalam wilayah ketemenggungan dikuasai masyarakat persekutuan dan pengaturan seta penggunanya dilakukan oleh kepala kampung atau temenggung. Kepala adat atau kepala kampung bertindak sebagai pengurus, pengatur, pengawas pemakaian tanah, dam pemungutan hasil hutan serta bahan ramuan dalam wilayahnya untuk menghindarkan terjadinya perselisihan tentang tanah, hasil hutan dan dalam pengambilan bahan ramuan tersebut.
Pada masyarakat Daya Linuhini bentuk penguasaan tanah secara tradisional itu adalah:
1.         Tanah hutan (rimba) yang dibuka atau dikerjakan sendiri oleh seseorang atau oleh leluhurnya yang dilakukan menurut kebiasaan setempat.
2.         Tanah hutan (rimba) bebas yang dicadangkan untuk tanah perladangan dimana para warga desa dapat membuka tanah hutan dengan izin kepala adat.
3.         Tanah hutan (rimba) lindung yang dicadangakan untuk tempat mengambil bahan ramuan rumah, berburu, dan memungut hasil hutan berupa rotan, tengkawang, cempedak, dan sebagainya dimana warga kampung atau desa dapat memperoleh kesempatan yang sama untuk memanfaatkan hutan lindung tersebut. Akan tetapi kesempatan umtuk memanfaatkan hutan lindung tersebut hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya agar warga lainnya dapat ikut serta secara merata menikmati manfaat hutan lindung itu. Jadi tidak dibolehkan hanya segelintir orang yang hanya dapat menikmati manfaat hutan lindung tersebut.
4.         Tanah bawas yaitu tanah bekas perladangan dari suatu keluarga atau seorang terdiri atas bawas baru, bawas baru, dan bawas tuha akan tetapi tanah bawas ini sudah termasuk tanah dalam penguasaan perorangan
5.         Tanah gupung yaitu tanah yang ditasnya sudah ada objek hak persekutuan atau perorangan seperti gupung laman, gupung tembawang, gupung lalau, gupung kubur dan gupung mali
6.         Tanah kebun yaitu tanah yang dikuasai oleh perorangan atas suatu keluarga diman diatasnya telah ada tanaman pohon berupa pohon karet, lada, durian, pisang dan sebagainya.
BAB 5 POLA PEMILIKAN TANAH
Tanah pada masyarakat Daya Linuh dimiiki oleh persekutuan dan warga persekutuan. Setiap warga persekutuan berhak memiliki persekutuan dengan ketentuan memenuhi  adat kebiasaan dalam proses pemilikan tanah. Seorang warga termasuk para kepala kampung atau kepala persekutuan adat tidak boleh membuka hutan lindung untuk dijadikan obejk hak perorangan. Jadi, pada masyarakat suku Daya Linuh , sekali ia mengerjakan dan memberi tanda batas di sebidang tanah hutan dengan setahu dan seizin kepada persekutuan, selama itu pula tanah tersebut miliknya dan tidak boleh diganggu atau dikerjakan oleh orang lain. Kalau ada yang mengganggu atau mengerjakannya, maka jelas yang mengganggu tersebut bermasalah dan pasti dikenakan sanksi adat atas perbuatannya merampas tanah milik orang lain.
Apabila tanah tersebut menghutan kembali bukan persoalan, sebab memang disengaja dihutankan kembali agar kesuburan tanah pulih kembali. Jadi, karena untuk kepentingan kelestarian alamnya tanah tersebut dibiarkan seolah-olah diterlantarkan. Tanah persekutusn dan tanah milik perseorangan mempunyai batas-batas yang tela disepakati bersama oleh persekutuan lain atau orang lain yang tanahnya berbatasan langsung. Yang dijadikan batas sifatnya tahan lama dan tidak mudah hilang, misalnya menggunakan batas alam, batas yang ditanam atau diletakkan bersama.
Pada masyarakat ini, membagi harta warisan terlebih dahulu dimusyawarahkan oleh orang tua dan anak-anaknya, serta dihadiri oleh kaum keluarga yang terdekat. Orang tua sebagai pengambil keputusan terkahir mengenai barang atau tabah yang akan diwariskan kepada anak tertua, kedua, ketiga, dan seterusnya sampai kepada anak yang bungsu.
Tanah yang terpenting bagi masyarakat suku Daya Linuh sekarang bukan sawah, melainkan tanah perladangan dengan pola berpindahdari lokasi satu ke lokasi yang lain dan dalam siklus waktu tertentu akan kembali ke tempat yang pertama kali dikerjakan. Kesuburan tanah diserahkan sepenuhnya secara ilmiah kerana mereka belum mengenal cara menyumburkan atanh dengan menggunakan pupuk, baik pupuk alam, maupun pupuk buatan. Sebagai petani mereka memetingkan ladang daripada sawah karena, antara lain:
1.         tidak mempunyai pengetahuan dsn pengalaman tentang sawah
2.         tidak ada contoh yang konkrit tentang hasil sawah, menurut mereka yang pernah bersawah
3.         biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh
4.         perbedaan rasa padi ladang dengan padi sawah
BAB 6 POLA PENGGUNAAN TANAH
Tanah ynag terletak dalam wilayah suatu kampung atau yang termasuk wilayah persekutuansuku Daya Linuh, prinsipnya hanya boleh diguanakan oleh warga kampung setempat atau persekutuan adat tersebut. Penggunaan tanah yang sudah beruoa tanah bawas jekas terlebih dahulu harus meminta izin atau meminjam tanah bawas itu kepada pemiliknya. Setelah itu, andaikan pemiliknya mau meminjamkan tanah tersebut barulah memberitahukan maksudnya kepada kapala kampung atau kepala persekutuan adat agar dapat dizinkan berada di kampung tersebut untuk mengerjakan tanah tersebut yang dipinjam dari seorang warga kampung stempat.
Dalam hal demikian, kapala kampung atau kepala persekutuan adat berwenang tidak mengizinkan yang bersangkutan, apabila ada alasan-alasan yang diperkirakan dapat mengganggu atau merugikan kepentingan persekutuan.Tanah yang diperguanakan dapat diklasifikasikan dalam dua bentuk penggunaan, yakni penggunaan tanah untuk kepentingan perseorangan dan untuk kepentingan komunal
           Penggunaan tanah untuk kepentingan perseorangan dapat berupa:
1.         Tanah untuk perladangan
2.         Tanah untuk kebun dan tanaman lain, seperti buah-buahan atau umbi-umbian
3.         Tanah untuk warisan, dipertukarkan, dihibahkan, diperjual-belikan
4.         Tanah untuk  halaman rumah
5.         Tanah untuk tempat orang numpang buma
6.         Tanah untuk tempat mendirikan rumah
7.         Tanah umtuk sawah sampai sekarang belum berhasil
           Tanah yang digunakan untuk kepentingan komunal berupa:
1.         Tanah untuk hutan lindung
2.         Tanah untuk hutan bebas (cadanga lahan perladangan)
3.         Tanah untuk peternakan
4.         Tanah untuk gupung kubur
5.         Tanah untuk gupung mali
6.         Tanah untuk gupung lalau madu
7.         Tanah untuk gupung tembawang
BAB 7 ANALISA
Tanah yang berada dalam penguasaan perseorangan dan tanah yang dikuasai komunal tetap berada dibawah pengawasan kepala persekutuan adat agar ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan warganya terpelihara atau terjamin. Kepindahan suatu kelompok ke lokasi atau pemukiman yang bari disebabkan:
·         luas wilayah kampung yang ditinggalkan sudah semakin sempit karena pertambahan jumlah keluarga (penduduk)
·         kondisi tanahnya yang semakin kurang subur
·         hasil hutan dan binatang buruan sudah susah memperolehny
·         masih luasnya tanah-tanah kosong disepanjang tepi sungai yang belum dikuasai oleh kelompok
·         adanya dorongan mencapai suatu kehidupan yang lebih baik dari tempat yang semula
Ada beberapa pandangan yang perlu diperhatikan oleh pelaksana pemabngunan di lokasi proyek transmigrasi, PIR, dan wilayah PHK sehubungan konsep budaya setempat yaitu
·         masyarakat suku Daya Linuh dianggap sebagai telah mentelantarkan tanah, padahal ditinggalkam untuk memulihkan kesuburan tanah dengan proses alami
·         masyarakat suku Daya Linuh dilokasi proyek, kalau mempertahankan haknya untuk kepentingan hidup mereka, kadangkala disebut penghambat pembangunan
·         sebutan perladangan liar dalam pola ladang berpindah dirasakan menusuk perasaan kaum petani sebab hanya dengan cara itulah mereka berupaya memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Mereka berbuat demikian karena mengikuti aturan-aturan yang harus ditaati dalam berladang dan apabila dilanggar akan dikenakan sanksi adat menurut ketentuan hukum adat setempat.
Kekurangan:
·         dibuku belum mendeteailkan tentang masyarakat setempat, siapa yang dimaksud dengan kepala persekutuan adat, masyarakat yang seperti apa yang bisa memperoleh lahannya.
·         kurangnya kejelasan skup temporal pada buku tersebut sehingga seperti tidak runtut waktu dibaca
·         kurangnya bukti yang jelas agar dapat menggambarkan kondisi waktu tersebut
Kelebihan:
·        dalam buku ini sangat detail menjelaskan tentang pembagian lahan pada daerah Kalimantan Barat
·        lebih menjelaskan mengenai hukum tanah yang ada di daerah Kalimantan Barat
KESIMPULAN RESENSI  :
BUKU 1 :
Buku ini menjelaskan tentang Daerah Istimewa Yogyakarta yang mana pemerintahan nya yang masih berpusat pada kerjaan yang dipimpin oleh seorang raja. Jadi dalam  pola penguassan tanah pada mulanya di pegang oleh seorang yang sangat berpengaruh di suatu daerah seperti raja. Dari perkembangan tentang pertanahan di Daerah lstimewa Yogyakarta, baik mengenai penguasaan; pemilikan maupun penggunaannya berasal dan bersumber kepada pranata-pranata yang dikeluarkan oleh Kasultanan (Rijksblad Kasultanan dan Rijksblad Paku Alaman). lni berarti segalanya berorientasi kepada kekuasaan raja. Raja atau Sultan di sini merupakan satu-satunya penguasa wilayah yang tertinggi yang menjadi pusat sembahan dan dambaan para kawulo dalem. Pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta diatur oleh pranata-pranata hukum adat dan pranata lain yang bersumber pada aturan-aturan atau pranata dari kerajaan (Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alanian) yang kenyataannya sampai sekarang masih berpengaruh. Dalam menulis buku ini dengan menggunakan metode – metode yang mana di dalam buku ini mengambil skup spasial Daerah Istimewa Yogyakarta akan tetpai tidak ada skup temporalnya sehingga cakupan pembahasan lebih luas dan kurang mendetail.
BUKU 2
Buku ini menjelaskan tentang tanah yang membahas tentang penguasaan tanah dan kepemilikan tananh yang manah tanah bagi masyarakat Jawa sangat bernilai ekonomi dan berharga. . Pembahasan dalam buku ini beberapa menjelaskan bahwa pemilikan tanah pertanian hanya terpusat kepada beberapa orang saja, sehingga terdapat beberapa perubahan atau tingkatan sosial dalam masyarakat sendiri yaitu terdapat beberapa golongan dalam masyarakat. Terdapat juga beberapa bahasan mengenai UUPA dan juga ada beberapa tabel yang menjelaskan tentang pertanahan di Jawa. Buku ini menjelaskan keadaan penguasaan tanah di Jawa pada masa colonial dan sesudahnya.
BUKU 3 :
 Buku ini menjelaskan tentang tanah yang membahas tentang penguasaan tanah dan kepemilikan tananh yang manah tanah bagi masyarakat Jawa sangat bernilai ekonomi dan berharga. . Pembahasan dalam buku ini beberapa menjelaskan bahwa pemilikan tanah pertanian hanya terpusat kepada beberapa orang saja, sehingga terdapat beberapa perubahan atau tingkatan sosial dalam masyarakat sendiri yaitu terdapat beberapa golongan dalam masyarakat. Terdapat juga beberapa bahasan mengenai UUPA dan juga ada beberapa tabel yang menjelaskan tentang pertanahan di Jawa. Buku ini menjelaskan keadaan penguasaan tanah di Jawa pada masa colonial dan sesudahnya.
Buku ini menjelaskan tentang kondisi pertahanan yang ada di Kalimantan Barat yang mana menyangkut sejarah pertanahan yang ada di Kalimantan Barat. Sejarah tentang tanah mulai dari sebelum penjajahan hingga masa kemerdekaan. Di masyarakat Kalimantan Barat yang masih kental dengan magisnya yang masih melaksanakan upacara adat untuk menghormati nenek moyangnya yang menggunakan jenis tumbuhan yang ada di tanah latosol dan andasol seperti suku Daya Linuh . Kedudukan pemilik tanah adat perorangan dibatasi oleh hak ulayat dan fungsi sosial tanah. Seorang yang dimiliki sebidang tanah sebidang tanah berkedudukan sebagai pemegang hak perorangan. Oleh karena itu, ia berwenang mengatur penggunaan tanah yang dimilikinya sepanjang tidak tidak bertentangan atau tidak merugikan hak-hak persekutuan tanah dalam wilayah kampung atau ketemanggungan. Tanah ynag terletak dalam wilayah suatu kampung atau yang termasuk wilayah persekutuan suku Daya Linuh, prinsipnya hanya boleh digunakan oleh warga kampung setempat atau persekutuan adat tersebut. Tanah pada masyarakat Daya Linuh dimiiki oleh persekutuan dan warga persekutuan. Setiap warga persekutuan berhak memiliki persekutuan dengan ketentuan memenuhi  adat kebiasaan dalam proses pemilikan tanah.
Dalam buku ini termasuk buku yang menjelaskan mengenai masyarakat Kalimantan Barat dalam pola penguasaan, kepemilikan, dan penggunaan tanah secara tradisional meskipun belum terlalu luas. Di dalam resensi disebutkan buku ini lebih menjelaskan lebih mendetail tentang pembagian tanah dan hukum tanah di Kalimantan Barat. Skup temporal yang belum jelas serta skup Spasial yang terlalu luas sehingga belum menjelaskan secara mendetail.
ANALISIS :
            Dari ketiga buku tersebut sebenarnya memiliki kesamaan yang mana sama – sama menjelaskan tentang penguasaan dan kepemilikan tanah akan tetapi dengan memilik skup Spasial yang berbeda – beda. Yang mana ketiga tempat tersebut memiliki pola peguasaan yang berbeda – beda. Buku 1 dan Buku 2 lebih menjelaskan kepada pola penguasaan dan kepemilikan yang mana skup Spasialnya yang juga sama berada di Pulau Jawa yang Buku 1 menggunakan Daerah Istimewa Yogyakarta dan yang Buku 2 lebih ke Pulau Jawa secara umum sedangkan Buku 3 yang menjelaskan  tentang pola penguasaan, kepemilikkan, penggunaan tanah secara tradisional yang menggunakan skup Spasial Kalimantan Barat dengan Suku Daya Linuh. Dari skup spasial yang ada memiliki latar belakang yang berbeda sehingg dalam penjelasan Buku 3 lebih berbeda dengan aturan adat yang dimiliki di wilayah tersebut.
            Dapat disimpulkan bagi para sejarwan yang ingin menulis tentang sejarah agrarian dalam sub bab penguasaan dan kepemilikan tiga buku ini cukup memadai dalam membantu literasi sejarah agrarian atau sebagai sumber skunder dalam menulis. Dari 3 buku ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing – masing yang mana juga bisa saling melengkapi hasil tulisan.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
semoga bermanfaat, jangan lupa tinggalkan kritik dan saran :)