Jumat, 18 Desember 2020

REVIEW SEJARAH PEDESAAN

 NAMA : SOFI LAILATUL ZAHRO

 NIM : 180110301029

REVIEW PERTEMUAN KE 13

 Sejarah Desa Jember Kidul adalah kelurahan di Kecamatan Kaliwates, Jember, Jawa Timur. Sejarah Desa Jember Kidul adalah sebagai berikut : Kelurahan Jember Kidul,pada zaman dahulu wilayah Jember Kidul merupakan sawah, yang dimana hanya ada beberapa rumah dan ruma-rumah orang Belanda. Pada tahun 1971 mulai banyak rumah-rumah yang dibangun. Pada zaman Belanda rumah di daerah sana disebut dengan condro kongsi, ada yang disebut Kongsi Timur dan Kongsi Barat. Alasan disebut condro karena bnyak pengungsi yang berada di dekat Gudang Seng. Untuk menuju wilayah Jember Kidul melewati jalan utama yang lebarnya tidak begitu besar karena orang-orang pada zaman dahulu hanya menggunkan transportasi tradisional seperti dokar dan sepeda. Bayak gudang yang dibangun di Jember Kidul seperti Gudang Attak dan Gudang Seng. Gudang Attak digunakan tempat untuk menjemur tembakau. Sedangkan Gudang Seng merupakan pabrik yang dibuat oleh orang-orang Belanda. Terdapat dua Gudang Seng di Jember Kidul yaitu LMOD dan PTP. Kedua gedung tersebut merupakan kepemilikan orang Belanda. Keadaan setelah Belanda pergi tidak ada orang yang berani melewati Gudang Seng kareana gudang tersebut pernah digunakan sebagai tempat penahanan orang-orang PKI. Sejak zaman Orde Baru wilayah ini sudah dinamakan Jember Kidul. Sebelum menjadi Jember Kidul wilayah ini disebut dengan Kampung Tumpeng. Sejarah nama Kampung Tumpeng karena pada tengah-tengah kampung terdapat kuburan pada bagian tengah dari kuburan ada batu besar yang berbentuk seperti nasi tumpeng yang bagian atasnya seperti sudah dipotong. Hal itulah yang menjadikan masyarakat sekitar menyebut wilayah itu sebagai Kampung Tumpeng. Pada tahun 1980 generasi muda daerah Kampung Tumpeng menolak adanya tempat prostistusi yang ada di Kampung Tumpeng. Alasan pemuda menolak yaitu karena para pemuda yang berasl dari Kampung Tumpeng medapat hinaan dari orang-orang. Mereka yang tidak setuju berkumpul di pemerintahan kampung guna mengusulkan Kampung Tumpeng dirubah dan tempat prostitusi agar segera dipindah dari kampung tersebut sehingga nama kampung menjadi bersih. Jember Kidul meliputi Kebon Kidul, Kebon Ledok Lor, Kulon Pasar, Ledok, Pattimura dan Tegalsari. Kabupaten Jember termasuk dalam wilayah Jember Kidul yang tetap melalui proses pemilihan dengan cara dipilih ASN atau pegawai negeri. Sedangkan di desa proses pemilihan lurah dengan cara memilih suara terbanyak dari rakyat. Untuk bupati dan walikota proses pemilihannya menggunkan suara terbanyak dari rakyat karena jabatan politik.

Kamis, 10 Desember 2020

REVIEW SEJARAH PEDESAAN

 

NAMA : SOFI LAILATUL ZAHRO

NIM    : 180110301029

 

RESUME PERTEMUAN KE-12

Desa Janti, Kecamatan Tarik, Kabupaten Sidoarjo. Nama desa Janti berasal dari kata Jati, pada zaman dahulu di area persawahan penduduk desa setempat sampai sawah berada di sebelah barat sulit untuk di aliri air sampai ke ujung sawah. Air itu mengarah ke tengah sawah ke arah utara, hal ini disebabkan oleh lubang, yang kemudian dusun di desa itu di sebut dengan dusun “Balongan”. Kekurangan penulisan ini, penulis kurang menceritakan secara rinci mengenai sejarah Desa Janti, selain itu kebenaran mengenai lubang belum pasti, dan kelogisan cerita belum didapatkan.

Desa Prokimal Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan. Penamaan desa tidak lepas dengan program yang dijalankan oleh TNI AL dimana dibangun pemungkiman warga yang di nama “Program Pemungkiman TNI Angkatan Laut” yang disingkat menjadi Prokimal. Sebelum penggunaan nama Desa Prokimal bahwa wilayah tanah yang sebelumnya hutan yang tandus adalah tempat lahan kosong yang digunakan para masyarakat yang memiliki hewan untuk mencari rumpt atau rambanan. Sekitar tahun 1980-an wilayah Prokimal pernah dijadikan sebagai lahan perkebunan, dimana lahan tersebut ditanami tebu, gubis, dan buah anggur. Wilayah Desa Prokimal menjadi tempat keberangkatan para angkutan buah sebelum berangkat menuju gudang. Selanjutnya sekitar tahun 1998-an kembali digunakan sebagai lahan penamaan tebu, pada saat awal mulai kegiatan begitu lancar dan menghasilkan banyak hasil panen namun setelah adanya tragedy 98 pemilik perkebunan yang bernama Andreas dan merupakan etnis China sepertinya ikut merasakan dampak dari tragedy  98. Sehingga kegiatan perkebunan di sawah kepemilikan Andreas ini sedikit demi sedikit mengalami kemunduran dan akhirnya resmi berhenti pada tahun 2000-an.

Desa Tugurejo Kecamatan Ngasem Kabupeten Kediri, penamaan desa tersebut dari kata Tugu dan Rejo. Dalam artian desa ini disebutlah timurnya bangunan Simpang Lima Gumul serta adanya keinginan desa ini suatu saat akan ramai. Seperti halnya diperolehnya nama Rejo. Kekurangan dari penulisan ini, penulis kurang memeperhatikan bawasannya penamaan desa bersasal dari dua kata yaitu Tugu dan Rejo sedangkan yang dipaparkan hanya Rejo saja, mengenai sumber yang didapatakan tidak diperbolehkan di foto jadi disini penulis harus memaparkan mengenai sumber yang didapatkan, kekurangan lainnya penulis tidak menyerkatan cover dari tulisan tersebut.

Desa Ampel Kecamatan Wulihan Kabupaten Jember, sejarah berdirinya sudah ada sejak masa kolonial sekitar 50an, kata ampel berasal dari bahasa Jawa yaitu Buluh yang berarti bambu. Buluh/bambu merupakan tanaman jenis rumput-rumputan dengan rongga dan ruas dibatangnya. Konon katanya tanah di Desa Ampel juga dipakai untuk penamaan Desa Ampel ditumbuhi pohon bambu ampel sehingga diberi nama Desa Ampel. Desa Ampel mulai ada sekitar tahun 1935 dengan pemimpin pertamanya yaitu mbah Sujono, sehingga diasumsikan bahwa yang melakukan pembabatan adalah mbah Sujono. Kekurangan penulisan ini, data yang didapatkan belum disertakan sumber terkait seperti penamaan desa tahun 1935.

Dapat disimpulkan ketika menulis sejarah, termasuk sejarah penamaan desa harus tetap mementingkan kelogisan, tidak mudah menerima mentah – mentah.  Hal tersebut bisa dengan melakukan crosscheck.

Jumat, 04 Desember 2020

REVIEW SEJARAH PEDESAAN

 

NAMA : SOFI LAILATUL ZAHRO

NIM      : 180110301029

 

TUGAS REVIEW MATERI

Struktur sosial masyarakat desa di Indonesia dibedakan menjadi dua yaitu :

·         Struktur sosial vertical artinya lapisan atau stratifikasi sosial yang menggambarkan kelompok – kelompok sosial dalam susunan yang bersifat hierarkis

·         Struktur sosial horizontal artinya menggambarkan variasi beragamnya dalam pengelompokan sosial.

Mahasiswa memiliki susunan vertical dan horizontal tergantung posisinya. Jika kita mengikuti metode barat dalam penerapan belajar sejarah maka yang paten menjadi rumus adalah “no document no history”, maka harus ada buktinya. Seperti santet  yang mana ada wujudnya meskipun kasat mata akan tetapi itu benar – benar terjadi. Hal ini tidak dipercayai oleh Orang Barat karena pemikiran mereka lebih ke rasional berbeda dengan Orang Timur yang irasional.

Pola kehidupan masyarakat desa yaitu pola kebudayaan masyarakat desa terhadap berbagai definisi tentang kebudayaan antara lain yaitu way of life yaitu way of thinking, way of feeling, dan way of doing.  Hal tersebut digunakan untuk menganalisis masyarakat pedesaan yang bersifat bersahaja maka diperlukan konsep kebudayaan yang sederhana yaitu kebudayaan dilihat dari aspek kebudayaan dan non kebudayaan (immaterial culture) yaitu kebudayaan dilihat sebagai suatu sistem nilai dan norma adat istiadat yang mengatur perilaku dan peri kehidupan masyarakat desa pola kebudayaan masyarakat desa yang termasuk pola kebudayaan tradisional adalah merupakan produk dari benarnya pengaruh alam terhadap masyarakat yang hidup tergantung pada alam.

Menurut Paul H landis bahwa besar kecilnya pengaruh alam terhadap pola kebudayaan tradisional ditentukan oleh :

1.       Sejauh mana ketergantungan terhadap alam

2.       Tingkat teknologi yang dimiliki

3.       Sistem produksi yang diterapkan

            Alam menjadi komponen yang penting bagi kehidupan manusia seperti konsep Kapitalisme alam diciptakan oleh Tuhan akan tetapi jika alam diciptakan apabila manusia tidak mau bertindak untuk mengolah alam maka tidak akan terjadi kesejahteraan. Berbeda dengan konsep sosialisme Pada pemerintahan Joko Widodo yang harus dibangun adalah desa sehingga ada BUMDes (Badan Usaha Milik Desa). Badan ini adalah badan yang di kelola oleh desa digunakan sebagai alat untuk memajukan desa. Perekonomian di pedesaan biasanya menganut Ekonomi Subsisten yang mana mereka menggunakan ekonomi yang sederhana, dengan anggapan jika sudah makan maka sudah cukup. Masyarakat tidak hanya bergantung pada alam akan tetapi juga pada cuaca sehingga meligitimasi untuk impor karena panen yang dihasilkan kurang memuaskan. Selain alam juga ada tingkat teknologi yang dimiliki yang akan membuat teori mengenai kapitalisme,  yang menganggap teknologi yang mengganti tenaga manusia dalam memproduksi barang.

Ciri – ciri kebudayaan tradisional menurut Paul H Landis adalah :

·         Adaptasi pasif di tingkat invantif  dan invasi rendah

·         Tebalnya rasa kolektifitas

·         Kebiasaan hidup yang lambat

·         Kepercayaan kepada takhayul

·         Kebutuhan materiil yang bersahaja

·         Rendahnya kesadaran terhadap waktu

·         Kecenderungan yang bersifat praktis

·         Standard moral yang kaku

Eksistensi pola kebudayaan tradisional harus memperhitungkan kekuatan – kekuatan di luar desa atau yang disebut sutra desa. Adanya pengaruh  struktur kekuatan tertentu yang mendominasi desa. Contoh : pola kebudayaan desa yang sudah mengalami perubahan. Kerajaan yang tersebat di Nusantara juga mempunyai pengaruh yang menentukan bagi pola kebudayaan masyarakat desa yaitu menyangkut masalah penguasaan tanah, pertanian atau yang disebut dengan sistem feudal. Hal tersebut menjadikan masyrakat desa memiliki ketergantungan yang tinggi kepada kerajaan. Pada daerah di Nusantara yang tidak ada kerajaa, maka sistem kekerabatan memiliki pengaruh yang besar bagi keberadaan pola kebudayaan tradisional. Pola kebudayaan identik dengan sistem kebudayaan salah satunya adalah Suku Osing dan Suku Madura yang merupakan suku sendiri. Tradisi dan hukum adat di Indonesia dibedakan menjadi

1.      Tradisi sinkronik merupakan tradisi yang bersifat situasional.

2.      Tradisi diakronik merupakan tradisi antara tradisi tradisional dan moder yang tidak dapat dipertemukan.

Tradisi dan adat istiadat yang dikonkretkan akan menjadi hukum adat. Hukum adat adalah hukum yang mengacu pada pengertian hukum asli yang berada di berbagai daerah yang ada di Indonesia yang mendapat pengaruh dari luar baik itu Agama Islam, Hindu , Budha maupun pemerintah Kolonial.  Tipe desa menurut integritas masyarakat yaitu

1.      Desa yang berada di luar Jawa, integritasnya didasarkan kepada hubungan darah atau genealogis, maka hukum adatnya memiliki kekuatan mengikat dan pengendali, karena peranan lambang sosial tidak terlalu besar.

2.      Desa di Jawa integritasnya didasarkan pada hubungan pada daerah atau geografis, maka hukum adatnya kurang ada memiliki kekuatan yang mengikat dan pengendali. Hukum adat melemah karena adanya intervensi yang dilancarkan oleh kekuatan – kekuatan di luar desa yaitu kekuatan kerajaan dan pemerintah kolonial.

Kelembagaan masyarakat desa lahir sebagai respon terhadap kebutuhan masyarakat sehingga bila  ada kebutuhan baru maka lahir lembaga – lembaga desa yaitu lembaga baru yang lembaga lama menjadi bergeser.

1.      Lembaga gotong royong atau sambatan, yang sebenarnya sambatan ini dadasarkan kepada barter lembaga kerja lembaga ini  yang bergeser kepada sistem upah.

2.      Sistem sakap atau bagi hasil yang bergeser menjadi sewa.

3.      Gotong royong yang dilandasi partisipasi berubah menjadi kerja bakti yang dilandasi mobilisasi (berupa undangan resmi atau tidak).

Lembaga sosial dan lembaga pemerintahan desa adalah lembaga sebagai sistem atau komplek nilai dan norma tata kelakuan yaitu berpusat disekitar kepentingan tujuan tertentu seperti nilai pokok , sifat permanen, sifat keterkaitan, dan  penerimaan terhadap ide – ide. Lalu lembaga – lembaga sosial yang lain yang lama ataupun baru yaitu sesuai dengan tuntutan perkembangan tetapi sekarang bukan dalam bentuk lembaga – lembaga akan tetapi berupa bada organisasi yang berkaitan dengan progam pembangunan tertentu. Contoh Gapoktan atau Gabungan Kelompok tani.

Rabu, 18 November 2020

SEJARAH DESA WRINGINAGUNG

 

NAMA    :  SOFI LAILATUL ZAHRO

NIM        :  180110301029

Sejarah Desa Wringinagung

Mengulik sejarah desa merupakan hal yang menarik karena tak jarang dari setiap warga desa yang kurang paham  mengenai sejarah desanya. Maka dari itu,  sebagai warga Desa Wringinagung, saya menulis mengenai sejarah Desa Wringinagung. Desa Wringinagung adalah salah satu desa yang berada di Kecamatan Gambiran, Kabupaten Banyuwangi. Sebelum menjadi desa yang berdiri sendiri, Desa Wringinagung ini merupakan bagian dari Desa Jajag. Pada tahun 1992 Desa Jajag, memiliki banyak penduduk sekitar 17.000 orang yang tersebar di dalam 8 dusun antara lain:

1.      Dusun Krajan

2.      Dusun Petahunan

3.      Dusun Yosowinangun

4.      Dusun Bulusari

5.      Dusun Jatisari

6.      Dusun Glowong

7.      Dusun Sumberjo

8.      Dusun Sumberjaya

Pada tahun 1990 ada acara Temu Desa yang diadakan  tingkat Nasional yang dihadiri oleh LKMD, LMD se Jawa Timur di Desa Jajag. Di dalam acara tersebut dari perangkat  Desa Jajag memiliki satu ide gagasan untuk melakukan pemecahan desa dengan alasan wilayah yang luas dan penduduk yang banyak. Di dalam pemecahan desa terdapat  perangkat desa yang bergabung di dalam tim yang  yang dinamakan dengan Tim Tujuh karena terdiri dari tujuh orang, Tim Tujuh  itu diketuai oleh H. Abdurrahman Yusuf, Sekertaris  Sunaryanto, Hadi Wijoyo, Kirman, Abdul Latif Hariyanto,   Santoso dan  Bambang Sugianto.

 Selain  diadakan  kegiatan Temu Desa, ada juga kegiatan Kriya Karsa LKMD yang dilaksanakan di tingkat provinsi, lalu gagasan yang dimiliki oleh  Desa Jajag kembali dimunculkan dalam forum tersebut yang pada akhirnya oleh Gubernur dan Bupati mengizinkan untuk  pemecahan desa dengan berbagai persyaratan mulai dari faktor demografi, wilayah, mata pencaharian dan lainnya.

Pada tanggal 25 April 1992  Desa Jajag  dipecah menjadi Desa Jajag dengan Desa Persiapan Wringinagung, Desa Wringinagung  menjadi desa persiapan selama kurang lebih 3 tahun. Selama menjadi desa persiapan yang mana wilayah desa sudah ada,  akan tetapi secara administrasi desa masih ikut kepada desa induknya. Lalu pada tahun 1995,   usulan Desa Persiapan di terima menjadi Desa Definitif  pada tanggal 21 April 1995.

Masyarakat yang menjadi penduduk desa pecahan mayoritas adalah petani dan wilayahnya sebagian besar adalah lahan pertanian maka dinamakan ‘Wringinagung’ yang berasal dari kata ‘Wringin’ dan ‘agung’.Pemberian nama Wringinagung memiliki sejarah tersendiri, kata  Wringinagung  terdiri dari dua suku kata yaitu “ Wringin”  berarti pohon  beringin  dan “ Agung”  yang berarti besar.   Pada waktu itu diperbatasan Desa Yosomulyo dengan Desa Jajag terdapat pohon ringin yang besar yang akan tetapi di tengah pohon tersebut growong (bolong dalam Bahasa Jawa). Di tempat tersebut, sering menjadi tempat transaksi jual beli oleh  pedagang China, akan tetapi orang China tersebut kesulitan mengucapkan “ r ” pada kata “ growong ” lalu  mengatakan glowong, sehingga sampai saat ini disebut dengan Dusun Glowong. Jadi,  di Dusun Glowong menjadi bagian dusun yang dipecah  sehingga desa pacahan  Jajag tersebut diberi nama Wringinagung yang berarti makmur sesuai dengan harapan seluruh masyarakat yang ada di desa ini.

Selain Desa Wringinagung yang diresmikan pada waktu itu ada juga lainnya seperti  Desa Ringinputih pecahan dengan Desa Sumberberas dan salah satu Desa di Rogojampi. Desa Wringinagung terdiri dari 4 dusun yaitu Dusun Sumberjo,  Dusun Jatisari, Dusun Gembolo Templek (Sumberjaya sekarang) dan Dusun Glowong sedangkan Desa Jajag menjadi 5 dusun juga yaitu Dusun Kampung Baru, Dusun Krajan, Dusun Petahunan, Dusun Yosowinangun dan Dusun Bulusari.

Secara demografi, penduduk  di Desa Wringinagung yang tercatat pada tahun 2020 adalah 7.689 jiwa yang terdiri dari 3.502 penduduk laki – laki dan 4.187 penduduk perempuan.  Dengan luas wilayah 619, 9 ha yang terdiri dari 79,65 persen yang terbagi atas tanah pertanian dan tegalan sedangkan 18,37 persen berupa wilayah permukiman dan bangunan lain seperti sekolah, tempat ibadah, jalan dan tanah yang tidak produktif.

Secara topografi Desa Wringinagung ini berupa dataran tinggi, dengan suhu udara rata – rata berkisar 33 ℃ , dengan ketinggian rata -  rata dari permukaan laut ± 50m dpl, sedangkan cura hujan rata rata tiap tahun berkisar 1000 – 2000 mm, dengan demikian kondisi alam Desa Wringinagung cukup sejuk dengan banyak hembusan air. Dengan keadaan topografi yang sedemikian rupa perekonomian warga Desa Wringinagung bertumpu pada sector pertanian dengan mata pencaharian mayoritas sebagai petani, petani yang memiliki lahan atau sebagai buruh tani. Mayoritas penduduk di Desa Wringinagung ini beragama islam. Batas desanya tidak berdasarkan dengan batas alam akan tetapi dengan batas  dusun  sehingga tidak jelas batasnya. Batas Desa Wringinagung sebagai berikut :

·         Utara     : Desa Yosomulyo

·         Barat     : Desa Tegalsari

·         Selatan  : Desa Purwodadi

·         Timur   : Desa Jajag

Pada awal berdirinya Desa Wringinagung, pada tahun 1992 – 1997  belum mengadakan pemilihan Kepala Desa sehingga pada saat itu ditunjuk langsung  oleh warga desa Kepala Desa Wringinagung adalah P. Santoso, yang dulu menjadi sekdes Desa Jajag. Kemudian pada tahun 1997 untuk pertama kalinya dilaksanakan pemilihan Kepala Desa dan sebagai calon yang terpilih adalah MS. Hadi Sastro  yang kemudian dilantik sebagai Kepala Desa Wringinagung yang pertama. Kemudian dipertengahan masa dinas tahun 2002 beliau  sakit stroke sehingga mengangkat Pj Kades  tahun 2003 – 2006 yaitu P. Sujito, S. Pd yang sebelumnya  menjadi  sekdes Wringinagung. Pada tahun 2007 dijabat oleh Staf Kecamatan Gambiran  selaku Pj. Kades Wringinagung yaitu P. Sukatno sampai pelaksanaan Pilkades  2007 karena P. Sujito diangkat menjadi PNS sebagai guru. Pada tahun 2007 pelaksanaan Pilkades  sebagai calon terpilih adalah Moh. Samsul Hidayat, SP yang menjabat pada tahun 2007 – 2013. Pada tahun 2014– 2019 dijabat oleh P. Sunaryanto dan pada  saat ini kepala Desa Wringinagung  yaitu P. Kondang Suryaningrat, S. Hut.

No

Periode

Nama Kepala Desa

Keterangan

1

1994 – 1998

SANTOSO

 Pjs.Kades

2

1998 – 2003

MS.HADI SASTRO.S

 Kades Devinitif

3

2003 – 2006

 

 

SUJITO,SPd

 Pj.Kades

4

2006 – 2007

SUKATNO

 Pj.Kades

5

2007 – 2013

MOH.S.HIDAYAT,SP

Kades Terpilih

6

2013 s/d 2019

SUNARYANTO

Kades Terpilih

7

2020 s/d 2025

Kondang Suryaningrat, S. Hut.

Kades Terpilih

 

 

Narasumber :

Sunaryanto, mantan sekdes pada awal berdirinya Desa Wringinagung dan mantan kepala Desa Wringinagung pada tahun 2014 – 2019.

Website Desa Wringinagung http://wringinagung.desa.id/web/detailnews/sejarah-desa

Nomer kades 081336644343

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Minggu, 15 November 2020

REVIEW JURNAL : GERAKAN LINGKUNGAN DI JAWA MASA KOLONIAL

 

GERAKAN LINGKUNGAN DI JAWA

                  MASA KOLONIAL

( Nawiyanto, Paramita Vol. 24 No. 1, Hlm , 31 – 34 )

REVIEWER  : SOFI LAILATUL ZAHRO 

NIM               : 180110301029

PENDAHULUAN

Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang terbesar di Indonesia, selain itu juga memiliki penduduk yang sangat padat di dunia. Abad ke – 19 menjadi abad yang penting karena menjadi garis tanda perubahan. Sebelum abad ke – 19  kawasan hutan dan idalamnya masih menjadi masalah yang serius, selain itu hutan juga menjadi wilayah yang dianggap angker karena roh – roh jahat serta berbahaya karena adanya binatang buas. Sejak akhir abad ke – 19 hilangnya hutan yang ada di Pulau Jawa menjadi masalah yang serius dan malapetaka bagi lingkungan. Kehancuran lingkungan atau krisis lingkungan selain disebabkan oleh iklim juga disebabkan oleh manusia yang dianggap sebagai penguasa tertinggi dibawah tuhan, lingkungan juga tergantung dengan unsur antropogenis, sikapnya kepada lingkungan. Kehadiran Kolonialisme Barat di Jawa dipandang sebagai penyebab krisis lingkungan, karena adanya Sistem Tanam Paksa yang dikaitkan dengan lingkungan hutan.

ISI

Gerakan lingkungan yang ada di Jawa tumbuh pada akhir abad ke – 19 yang ditandai dengan adopsi kebijakan konservasi. Gerakan lingkungan di Jawa pada mulanya terkait erat dengan kepentingan dalam bidang pertanian. Ini berkaitan dengan pemberlakuan peraturan konservasi lingkungan khususnya sejak tahun 1870an yang mewajibkan orang Eropa dan pribumi. Adanya kaitan yang erat antara kepentingan pertanian dan perlindungan lingkungan hutan penyangga tata air ditemukan diantara para insinyur yang bekerja dalam dinas pengairan Kolonial sebagian juga dukungan berasal dari pegawai yang bekerja dalam dinas kehutanan. Dengan dukungan dua profesi kemudian  lahir Ordonansi Kehutanan tahun 1884, yang menetapkan  preservasi hutan yang berfungsi sebagai tata air.  Selain upaya preservasi vegetasi hutan yang ada, gerakan lingkungan juga diarahkan pada pemulihan kawasan hutan yang rusak. Pemerintah Kolonial mulai mencanangkan progam penanaman hutan kembali dengan motivasi yang berbeda, lebih ke penanaman jati yang dilancarkan dalam Tanam Paksa untuk stock yang sangat penting bagi VOC.  Sekitar tahun 1900 berkembang kecenderungan baru dalam gerakan lingkungan yang mengaitkan dengan pemeliharaan dan perlindungan lingkungan  tidak hanya demi alasan ekonomi tapi ilmiah dan estetik. Gerakan ini bertujuan untuk melindungi flora dan fauna liar, serta lanskap alamiah atas dasar pertimbangan nilai – nilai estetis dan ilmu pengetahuan. Hal tersebut menjadi kekhawatiran atas bahaya kepunahan binatang sebagai isu pertama untuk ditangani, seperti badak dan banteng di Pulau Jawa. Selain itu gerakan lingkungan dengan fokus konservasi dan perlindungan satwa juga diinspirasi oleh unsur – unsur yang ada di dalam tradisi Barat seperti keinginan mempromosikan hak – hak binatang. Capain legal pertama adalah pemberlakuan Ordonansi Perlindungan Satwa Liar tahun 1909 yang memberikan perlindungan satwa liar, kecuali yang merugikan.

Tahun 1912 organisasi pertama menangani konservasi lingkungan alam, masyarakat Hindia Belanda untuk Perlindungan Alam yang didirikan dengan botanis kehutanan Dr. S.H. Koorders yang memiliki peran penting dalam memajukan gerakan lingkungan yang bersandar pada konservasi estetis dan ilmiah dan memberi kontribusi besar bagi kemajuan gerakan konservasi baik legal maupun praktis. Organisasi ini berhasil bekerja sama dengan Perhimpunan Olahraga Gunung Hindia Belanda dan Komisi Belanda Untuk Perlindungan Alam Internasional. Munculnya organisasi ini memberi dorongan kuat bagi pemberlakuan peraturan perlindungan alam yakni memberi kerangka legal yang mengatur pembentukan cagar alam dan suaka margasatwa. Selain melahirkan peraturan – peraturan yang mendukung perlindungan berbagai elemen lingkungan, capain penting dalam gerakan lingkungan di Jawa hadir dalam bentuk lembaga yang menangani perlindungan lingkungan sebagai bagian dari birokrasi pemerintah. Capaian lainnya dalam tataran praktis adalah terbentuknya monument alam baik cagar alam maupun suaka margasatwa di Jawa ada 45 monumen alam pada Masa Kolonial Belanda. Keterlibatan  swasta dalam managemen cagar alam dan suaka margasatwa pada Masa Kolonial masih terbatas meskipun masyarakat Hindia Belanda berperan aktif untuk perlindungan alam dalam mengusulkan konservasi lingkungan, hal ini pemerintah Kolonial mengambil pengelolahanya sendiri daripada mempercayakan kepada swasta.

Gerakan lingkungan di Jawa pada Masa Kolonial masih terbatas pada lingkaran pemerintah daripada rakyat, dapat dilihat dari kenggotaan organisasi Masyarakat Hindia Belanda untuk melingdungi alam lebih banyak orang Eropa sehingga gerakan lingkungan di Jawa ini masih bersifat elitis dan terbatas anggota dan pendukungnya. Gerakan lingkungan pada Masa Kolonial juga tidak banyak menaruh perhatian kepada isu polusi, meskipun dalam realitannya polusi itu ada, misalnya polusi yang dihasilkan dari industri gula di Panarukan. Satu – satunya peraturan mengenai polusi adalah Ordonansi Gangguan 1926, akan tetapi tidak ditegakkan yang mengakibatkan gangguan publik. Gerakan lingkungan pada masa Orde Baru polusi menjadi isu yang urgent sehingga di soroti dalam gerakan lingkungan.

KESIMPULAN

Gerakan lingkungan yang tumbuh di Jawa menunjukkan perluasan orientasi dari konservasi tata air dan tanah untuk kepentingan pertanian dan lingkungan sendiri, ilmu pengetahuan dan estetika. Fokus gerakan meluas dari perlindungan hutan yang mendapatkan motor penggerak sekelompok rimbawan, insinyur irigasi, naturalis, pecinta alam Barat dan kemudian membentuk organisasi Masyarakat Hindia Belanda untuk Perlindungan alam. Gerakan lingkungan Masa Kolonial mencapai capain yang kongkret sari segi legal, administrative, birokratis dan praktis yang memuncukan proyek konservasi lingkungan dengan membentuk cagar alam dan suaka margasatwa tersebar di Jawa. Gerakan lingkungan ini hanya terbatas untuk lingkaran pemerintah. Organisasi masa Kolonial kurang minat terhadap isu lingkungan sehingga pyoyek – proyek  konservasi oleh pemerintah lebih kuat menampilkan apa yang dibayangkan kaum konservasionis sebagai baik demi rakyat, tetapi tidak sama seperti yang rakyat bayangkan.

KELEBIHAN

Kelebihan dalam Jurnal ini penulis memaparkan tentang gerakan sosial lingkungan  yang dilakukan di Jawa pada Masa Kolonial sebagai respon terhadap isu lingkungan. Pemaparan yang kronologis dan bahasa yang digunakan dapat memahamkan pembaca. Selain itu kaya akan referensi sehingga menjadikan jurnal ini lebih otentik. Jurnal ini juga dapat dijadikan bahan bacaan dan referensi mengenai sejarah lingkungan maupun isu – isu politik lingkungan.

KEKURANGAN

 Kekurangan dalam jurnal ini menurut saya terkait cakupan pembahasan yang luas, karena tidak disertai dengan skup temporal dalam tahun dab hanya tertuliskan “ Masa Kolonial ”. Selain itu dalam jurnal ini menggunakan innote daripada footnote.

 

 

 

 

REVIEW BUKU : Minoritas di Tengah Minoritas : Tionghoa Muslim di Jember

 

REVIEW BUKU

Judul Buku    : Minoritas di Tengah Minoritas :  Tionghoa Muslim di Jember

Penulis          : Dr. Retno Winarni, M. Hum. et.al.

Halaman       : 160 halaman

Penerbit        : UPT Percetakan dan Penerbitan Universitas Jember

Reviewer      : SOFI LAILATUL ZAHRO 180110301029

ISI  BUKU

Dalam buku ini membahas mengenai Etnis Tionghoa yang menjadi kaum minoritas di Jember. Buku ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana terbentuknya masyarakat Tionghoa Muslim di Jember, bagaimana masyarakat ini hidup di tengah-tengah mayoritas Muslim Pribumi dan ditengah tengah minoritas masyarakat Tionghoa di Jember.

Buku ini terdiri dari 6 bab antara lain Bab I, pendahuluan yang membahas secara general mengani Etnis Tionghoa yang ada di Indonesia dan persebarannya . Etnis Tionghoa adalah orang-orang Tiongkok atau Cina yang ada di Indonesia. “Tionghoa” adalah sebuah istilah yang diciptakan sendiri oleh orang-orang yang berasal dari Tiongkok yang bermukim di Indonesia.  Identitas Etnis Tionghoa yang menjadi kontroversi, mereka masih belum diakui sebagai penduduk pribumi meskipun mereka sudah tersebar merata pada abad ke 15 dan 16 di Indonesia. Di era kemerdekaan, contoh lain mobilitas sosial ini bisa dilihat pada kelompok-kelompok yang memperjuangkan terjadinya asimilasi menyeluruh (total assimilation) dengan penduduk pribumi. Satu yang paling mengemuka adalah anjuran memeluk Islam di kalangan orang-orang Tionghoa Indonesia.

Bab II ini menjelaskan tentang sejarah  Agama Islam dan penyebarannya  di Cina sehingga menjadi agama yang tidak dapat dipisahkan dari budaya Cina pada zaman Dinasti Ming. Selain mengenai persebaran Agama Islam di Cina, dalam bab ini juga menjelaskan mengenai persebaran Agama Islam di Nusantara. Sebenarnya Cina sudah pernah berlayar ke Nusantara dan melakukan perdagangan pada abad 7. Pada abad 8 orang – orang Cina mulai menetap dan melahirnak keturunan melalui perkawinan dengan masyarakat pribumi sehingga disebut sebagai Cina Peranakan Selanjutnya dalam bab ini membahas mengenai pasang surut jumlah Etnis Tionghoa Muslim di Jawa  disebabkan dengan adanya ketertarikan orang – orang Tionghoa untuk beradaptasi kepada budaya local atau disebut dengan resinifikasi. Dalam hal ini orang – orang Tionghoa khawatir mulai melupakan tradisi dari leluhurnya karena lebih mengikuti tradisi pribumi. Tahun 1908 mereka mendirikan sekolah-sekolah dasar gaya baru yang khusus untuk anak-anak Cina dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, yaitu Hollands Chinesche Scholen (HCS).

             Bab III menjelaskan tentang Komunitas Tionghoa yang ada di Jember  mulai dari awal adanya Etnis Tionghoa di Jember yaitu tahun 1795 menurut Retno Winarti ( Penulis ). Seiring dengan perkembangannya, etnis Tionghoa di Jember kemudian membentuk pola pemukiman tersendiri yang terletak di distrik Jember yang dilatarbelakangi masalah ekonomi karena banyaknya lapangan pekerjaan. Pertengahan abad ke-19, Jember merupakan daerah yang menjanjikan karena bermunculannya perkebunan swasta terutama tembakau. Mereka berperan sebagai pelaku ekonomi yang cukup berpengaruh di Jember.  Mayoritas orang-orang Tionghoa  pindah agama Islam, disebabkan mereka terdorong oleh keinginan untuk membebaskan diri mereka sendiri dari status non pribumi.

 Bab IV ini menjelaskan tentang kehidupan ekonomi dan tempat tinggal masyarakat Etnis Tiongoa  Muslim yang ada di Jember. Orang Tionghoa memang memberikan pengaruh besar pada perekonomian, khususnya dalam menggerakkan perekonomian di wilayah Jember melalui perdagangan dengan membangun toko kecil hingga super market. Selanjutnya mengenai tempat tinggal Tionghoa Muslim di Jember juga didasarkan kepada kosmologi Tiongkok yang memiliki konsep yang disebut dengan honsui.. Di Jember, tempat yang ditunjuk adalah jalan Sultan Agung dan Haji Samanhudi. Namun di kemudian hari, orang-orang Cina juga bermukim di jalan Ahmad Yani dan Jl mangunsarkoro.  Selain  itu bermukim di wilayah pecinan di Pasar  Trunojoyo dan Pasar Tanjung dan ada juga yang bertempat tinggal di luar pecinan yaitu di Jalan Ciliwung.

Bab V yaitu mengenai usaha  yang dilakukan untuk mewadahi dan solidaritas kepada  warga Tionghoa Muslim dengan mendirikan PITI, yaitu Organisasi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia pada tangga 6 Juli 1963, organisasi ini juga didirikan di Jember pada tahun 1994. PITI merupakan organisasi yang didirikan untuk mempercepat proses pembauran yang nyata antara masyarakat Tionghoa, terutama yang beragama Islam dengan masyarakat pribumi. Salah satu focus PITI sejak kelahirannya adalah dakwah Islam, khususnya kepada warga Tionghoa selain itu juga masalah kebangsaan yang berkaitan dengan permasalahan antar etnis.

Bab VI adalah bab yang terakhir dari buku ini yang mana menjelaskan tentang kegiatan sosial yang dilaksanakan organisasi PITI di Kabupaten Jember di antaranya berupa kegiatan pendidikan, bakti sosial dengan mengadakan khitanan massal dan pembagian sembako pada masyarakat di beberapa desa tertinggal di Kabupaten Jember. Salah satu  monument yang penting sebagai wujud pembauaran dan keberhasilan PITI Kabupaten Jember dalam usahanya  yaitu dengan dibangunnya Masjid Cheng Ho , masjid yang berasitektur Cina di Kelurahan Sempusari, Kecamatan Kliwates.

KESIMPULAN

Mulai muncul Tionghoa Muslim di Jember sulit dipastikan, tapi sebenarnya pada awal abad ke-19 Bupati Puger yang Tionghoa peranakan telah memeluk agama Islam, namun keturunan mereka kemudian sulit dilacak. Keberadaan orang-orang Tionghoa Muslim baru terlihat terang setelah berdiri organisasi Persatuan Iman Tauhid Islam (PITI) sejak tahun 1984, karena sejak itu ada pendataan terhadap anggota PITI . Sebagai komunitas Muslim orang-orang China berarti sudah siap berasimilasi dengan orang pribumi karena mayoritas pribumi beragama Islam. Dalam bidang social budaya komunitas China Muslim sangat mudah berasimilasi dengan budaya dan tradisi masyarakat setempat, sehingga seperti halnya China non Muslim, mereka hidup dengan multi budaya dan multi tradisi, yaitu masih ada yang mempertahankan budaya dan tradisi leluhur asalkan tidak bertentangan dengan aqidah Islam dan bercampur dengan tradisi setempat, sehingga bisa dikatakan bahwa komunitas China Muslim merupakan etnis yang sudah berasimilasi total dengan masyarakat pribumi.

KELEBIHAN

 Kelebihan dalam buku  ini penulis memaparkan tentang kaum minoritas Tionghoa yang berada di Indonesia dan menjadi lebih spesifik di daerah Kabupaten Jember. Bahasa yang digunakan oleh penulis sesuai dengan EYD yang dapat memudahkan pemahaman kepada pembaca. Selain bahasa yang memahamkan dalam buku ini juga memiliki banyak referensi dalam penulisannya, mulai dari buku, internet, dan  wawancara dengan masyarakat Jember yang berasal dari Etnis Tionghoa.  Dengan referensi yang sebagian besar adalah buku, buku ini juga dilengkapi dengan footnote sehingga dapat mencegah dari plagiarisme.

KEKURANGAN

 Kekurangan dalam buku ini penulis tidak adanya batasan skup temporal sehingga pembahasannya terlalu luas, tetapi dengan begitu  pembaca dapat memperoleh lebih banyak informasi.