ANALISIS RESENSI BUKU TENTANG AGRARIA
OLEH : SOFI LAILATUL ZAHRO
Setelah mempelajari masalah
agraria dan perselisihan yang ada di dalamnya maka, blog ini akan terfokus
mengenai masalah penguasaan dan
kepemilikan tanah. Tanah yang menjadi sumber perselisihan antara masyarakat
atau rakyat dengan pemerintah atau masalah antar masyarakat tentu saja ada
hubungannya mengenai penguasaan tanah ,
kepemilikan tanah dan hak milih tanah di Indonesia.
Dari beberapa resensi buku
yang ada saya sebagai penulis blog ini memilih tiga resensi buku yang mendukung
pembelajaran agraria yang khususnya masalah kepemilikan tanah. Buku itu antara
lain : Pola Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan Tanah Secara Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta
penulis Drs. Gatut Murniatmo, dkk yang
kedua buku yang berjudul Pola Penguasaan, Penguasaan , Pemilikan dan Penggunaan
Tanah Secara Tradisional Kalimantan Barat yang ditulis oleh Y.C.Thambun
Anyang,SH. dan yang terakhir buku yang ditulis S.M.P
Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi dengan judul buku Dua Abad Penguasaan Tanah
Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa
Berikut adalah resensi dari tiga buku tersebut :
1. POLA
PENGUASAAN, PEMILIKAN, PENGGUNAAN TANAH
SECARA TRADISIONAL DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
P Penulis ː 1.
Drs. Gatut Murniatmo
2. Murianto Wiwoho, SH
3. Poliman, BA
4. Suhatno, BA
Penerbit ː
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Jumlah
Halaman ː 208 halaman
Oleh : Rani Nur Puji
Buku ini berisi tentang
penelitian penguasaan, pemilikan, penggunaan tanah secara tradisional di daerah
Yogyakarta. Buku ini mencakup penelitian di daerah pedesaan Yogyakarta yakni,
desa Banaran, Kecamatan Galur, Kulon Progo dan desa Pleret, Kecamatan Pleret,
Bantul sebagai lokasi penelitian. Di dalam buku ini peneliti mecoba menjelaskan
serta menceritakan bagaimana pola penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah
dari masa sebelum penjajahah, masa Belanda, masa Jepang hingga masa
kemerdekaan. Tak hanya itu penulis juga menjelaskan tentang pranata-pranata
sosial yang berlaku di dalam pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah.
Pola penguassan tanah pada mulanya di pegang oleh seorang yang sangat
berpengaruh di suatu daerah seperti raja. Dari perkembangan ten tang pertanahan di Daerah lstimewa
Yogyakarta, baik mengenai penguasaan; pemilikan maupun penggunaannya berasal
dan bersumber kepada pranata-pranata yang dikeluarkan oleh Kasultanan
(Rijksblad Kasultanan dan Rijksblad Paku Alaman). lni berarti segalanya
berorientasi kepada kekuasaan raja. Raja atau Sultan di sini merupakan
satu-satunya penguasa wilayah yang tertinggi yang menjadi pusat sembahan dan dambaan
para kawulo dalem. Pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah di Daerah
Istimewa Yogyakarta diatur oleh pranata-pranata hukum adat dan pranata lain
yang bersumber pada aturan-aturan atau pranata dari kerajaan (Kasultanan
Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alanian) yang kenyataannya sampai sekarang masih
berpengaruh.
Kelebihan
Buku
Di dalam buku ini penulis menuliskan secara
rinci bagaimana mereka mengumpulkan sumber dan metode-metode yang mereka pakai,
sehingga hal ini dapat membantu pembaca mengetahui metode apa yang mereka pakai.
Kekurangan Buku
Buku ini jika untuk sejarawan cakupannya
terlalu luas, lingkup temporalnya terlalu luas karena penulis tidak membasuh
skup spasialnya, sehingga pembahasannya pun tidak secara mendetail. Dan juga
buku ini hanya milik Depdikbud tidak diperjual belikan atau diperdagangkan.
Manfaat
Buku
Manfaat buku ini memberikan pandangan
tentang sejarah agraria untuk mahasiswa sejarah yang sedang menempuh mata
kuliah sejarah agraria, karena di dalam buku juga tercakup sejarah atau asal
usul pola-pola penguasaan, pemilikan, penggunaan tanah secara tradisional di
Yogyakarta.
2.
" DUA ABAD PENGUASAAN TANAH, POLA PENGUASAAN
TANAH PERTANIAN DI JAWA DARI MASA KE MASA"
Judul Buku
: DUA ABAD PENGUASAAN TANAH, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa
dari Masa ke Masa
Penulis
: S.M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi
Penerbit
: Yayasan Obor Indonesia
Tahun Terbit
: 2008
Cetakan
: Edisi Revisi
Jumlah Halaman : 540 halaman
ISBN : 978-979-461-685-7
Harga
: Rp. 120.000
Resensi Oleh : Nur Anawatiningrum
Buku yang ditulis oleh S.M.P
Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi ini merupakan karya dimana di dalamnya
membahas tentang pertanahan di daerah Jawa, khususnya tanah pertanian. Buku ini
sangat cocok bagi mahasiswa/i sejarah, dimana matakuliah agraria (pertanahan)
ini merupakan matakuliah wajib. Pada awal pembahasan dalam buku ini membahas
tentang penguasaan tanah dimana seperti yang dijelaskan bahwa pada saat itu
sistem penguasaan tanah bersifat feodalisme/raja yang menguasai dan menjadi
pemilik tanah. Tanah memiliki makna penting jika dilihat dari beberapa sudut
pandang, dari sudut pandang ekonomi tanah merupakan faktor penting dalam
produksi, sedangkan dalam sudut pandang politik tanah dapat dijadikan aspek
kekuasaan oleh orang-orang tertentu.
Dalam buku ini dijelaskan beberapa pola penguasaan
tanah yang terjadi di pedesaan, dimana
dengan adanya pola-pola tersebut dapat merubah pranata
sosial dalam masyarakat. Salah satu ciri penting struktur pertanahan di Jawa
adalah terdapat beberapa macam bentuk pemilikan tanah. Masyarakat pedesaan
cenderung terbagi menjadi kelas-kelas yang didasarkan pada jangkauan terhadap
hak-hak tanahnya. Pembahasan dalam buku ini beberapa menjelaskan bahwa
pemilikan tanah pertanian hanya terpusat kepada beberapa orang saja, sehingga
terdapat beberapa perubahan atau tingkatan sosial dalam masyarakat sendiri
yaitu terdapat beberapa golongan dalam masyarakat. Terdapat juga beberapa
bahasan mengenai UUPA dan juga ada beberapa tabel yang menjelaskan tentang
pertanahan di Jawa.
Buku
ini cocok bagi mahasiswa prodi Ilmu Sejarah sebagai bahan bacaan untuk
matakuliah “Sejarah Agraria” karena di dalamnya banyak pembahas tentang sistem
pertanahan di Jawa pada saat masa kolonial dan sesudahnya.
Kelebihan : Dalam buku
ini terdapat peta dan beberapa tabel di dalamnya sehingga memudahkan pembaca
untuk melihat letak serta jumlah kepemilikan tanah di daerah Jawa. Buku ini
juga memuat banyak referensi dan terdapat beberapa sub-bab yang runtut sehingga
sangat cocok untuk bahan bacaan bagi mahasiswa.
Kekurangan : Dalam buku ini memuat banyak kata daerah yang
artinya susah dipahami dan dibedakan seperti sikep, numpang, gogol, indung dan
lainnya yang diulang-ulang dibeberapa halaman, sehingga membuat pembaca sedikit
kebingungan.
3. BUKU
BERJUDUL POLA PENGUASAAN, PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN TANAH SECARA TRADISIONAL
KALIMANTAN BARAT
Penulis : Y.C.Thambun Anyang,SH.
Penerbit : Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Kota penerbitan : Jakarta
Dicetak tahun : 1989
Jumlah halaman : 96
Oleh : Risma Riskyana
BAB.1PENDAHULUAN
Disini membahas mengenai
dari hubungan yang erat dan bersifat religio magis inilah yang menyebabkan
persekutuan dan warganya memperoleh hak untuk menguasai memiliki dan
menggunakan tanah secara tradisonal. Ada beberapa masalah yang mendorong
dilakukannya penelitian terhadap pola penguasaan, pemilikan, dan penggunaan
tanah secara tradisional:
• Adanya ketidakjelasan dari pola-pola
tersebut yang kadang menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial dibeberapa
daerah.
• Berlakunya UUPA (UU no.5 tahun 1960)
menimbulkan perubahan atau pola baru dalam hal penguasaan, pemilikan dan
penggunaan tanah, dengan dengan berlakunya UU no.5 tahun 1979 sedikit banyak
akan mempengaruhi pola-pola tradisional tersebut.
• Belum diketahui data dan informasi
tentang pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah secara tradisional yang
dapat dijadikan bahan kebijaksaan pembinaan kebudayaan serta bahan studi
BAB 2 IDENTIFIKASI
Membahas mengenai lokasi dan
letak daerah di Kecamatan Sintang, kecamatan Sintang merupakan salah satu kecamatan yang ada di kabupaten daerah
tingkat II Sitntang yang terdiri atas 111 desa dan 6 kelurahan. Daerah
kecamatan Sintang beriklim tropis dengan dua musim, yaitu penghujan dan musim
kemarau. Batas kecamatan Sintang:
1. Sebelah
barat berbatasan dengan kecamatan tempunak dan kecamatan sepauk
2. sebelah
timur berbatasan dengan kecamatan debai dan kecamatan kayan hilir
3. sebelah
utara berbatasan dengan kecamatan ketungau hilir dan kecamatan silat
4. sebelah
selatan berbatasan dengan kecamatan belimbing.
Jenis tanah adalah tanah
latosol dan andosol. jenis tumbuhan yang tumbuh didaerah ini antara lain
tengkawang, kebaca, tekam, jelutung, meranti, ramin, rotan, bahan rakit dan
banyak lagi tumbuhan lainnya. Upacara adat masih dilakukan, walaupun sudah ada
penyesuaian dengan kepercayaan agama yang mereka anut sekarang. Dalam setiap
upacara adat, selalu ada sesajen untuk dipersembahkan kepada para arwah nenek
moyang dan para makhluk halus. Maksud persembahan tersebut adalah untuk menolak
mala petaka yang datangnya dari roh jahat. Tempat-tempat upacara ada yang
dilaksanakan di tanah, rumah, dan ada pula yang di air. Khusus untuk
kepentingan pengobatan orang sakit, ada pemeberian sesajen untuk orang sakit
yang disebut pedarak pegelak.
BAB 3 SEJARAH TENTANG TANAH
1. Masa Sebelum Penjajahan, pada masa
sebelum penjajahan tanah dikuasai oleh masyarakat persekutuan adat setempat
yang meliputi tanah-tanah pertanian dan hutan. Setiap warga atau anggota
masyarakat persekutuan adat yang ingin membuka hutan untuk diusahakan sendiri
sebagai tempat bercocok tanam harus meminta izin kepada kepala persekutuan
adat. Hutan yang telah dibuka dan digarap pertama kali oleh seorang, misalnya
untuk perladangan, selalu diberi tanda dan sejak didarap pertama kali itulah
tanah tersebut sudah menjadi tanah miliknya. Seorang yang telah memperoleh izin
membuka hutan diumumkan kepada warga masyarakt setempat oleh kepala persekutuan
adat. Dalam pemberian izin melibatkan beberapa orang warga setempat untuk
dijadikan saksi.
2. Masa Belanda, pada masa penjajahan
Belanda, tanah milik adat bumi putera diakui dan dlindungi, bahkan oleh
pemerintah Belanda, rakyat dianjurkan memelihara hutan, tengkawang, menaman
karet, dan berbagai tanaman yang mengahasilkan. Hak-hak rakyat atas tanah tetap
dipertahankan, akan tetapi rakyat diharuskan membayar belasting kepada
pemerintah Belanda. Pada masa itu juga harus dilaksanakan sistem tanam paksa.
3. Masa Jepang, pada masa penjajahan
Jepang bidang penguasaan tanah tidak mengalami perubahan, sama seperti pada
masa Belanda, hanya apa yang disebut belasting tidal lagi diberlakukan kepada
anggota masyarakat. Temenggung dan kepala kampung sebagai kepala persekutuan
adat tetap berfungsi dan terlibat dalam pengurusan penguasaan tanah. Pada masa
ini juga, rakyat disuruh menanam padi dan palawija ditanah-tanah perkebunan,
pegunungan dan tanah kehutanan.
4. Masa
Kemerdekaan, pada masa kemerdekaan, tanah dalam wilayah kampung di kuasai oleh
masyarakat kampung itu sendiri. Tanah yang dikuasai oleh masyarakat, yaitu:
o Tanah
laman adalah tanah pekarangan
o Tanah
bawas ladang adalah tanah bekas ladang
o Tanah
perkuburan adalah tanah yang digunakan untuk kuburan
o Tanah
mali adalah tanah yang pantang digarap
o Tanah rimba adalah tanah hutam tempat
mengambil ramuan rumah dan hasil hutan serta sebagai tempat perburuan.
BAB 4 POLA PENGUASAAN TANAH
Kedudukan pemilik tanah adat
perorangan dibatasi oleh hak ulayat dan fungsi sosial tanah. Seorang yang
dimiliki sebidang tanah sebidang tanah berkedudukan sebagai pemegang hak perorangan.
Oleh karena itu, ia berwenang mengatur penggunaan tanah yang dimilikinya
sepanjang tidak tidak bertentangan atau tidak merugikan hak-hak persekutuan
tanah dalam wilayah kampung atau ketemanggungan. Hubungan perseorangan antara
seorang warga persekutuan dengan tanah dimulai sejak pertama kali mengerjakan
tanah. Hubungan perseorangan itu harus bersifat terang, yang artinya
sepengetahuan dan seizin kepala kampung atau kepala adatnya dan telah
memberikan tanda-tanda yang dapat dimengerti ole seluruh warga masyarakat
setempat.
Tanah kampung atau tanah
persekutuan dalam wilayah ketemenggungan dikuasai masyarakat persekutuan dan
pengaturan seta penggunanya dilakukan oleh kepala kampung atau temenggung.
Kepala adat atau kepala kampung bertindak sebagai pengurus, pengatur, pengawas
pemakaian tanah, dam pemungutan hasil hutan serta bahan ramuan dalam wilayahnya
untuk menghindarkan terjadinya perselisihan tentang tanah, hasil hutan dan
dalam pengambilan bahan ramuan tersebut.
Pada masyarakat Daya Linuhini bentuk penguasaan tanah
secara tradisional itu adalah:
1. Tanah hutan (rimba) yang dibuka atau
dikerjakan sendiri oleh seseorang atau oleh leluhurnya yang dilakukan menurut
kebiasaan setempat.
2. Tanah hutan (rimba) bebas yang
dicadangkan untuk tanah perladangan dimana para warga desa dapat membuka tanah
hutan dengan izin kepala adat.
3. Tanah hutan (rimba) lindung yang
dicadangakan untuk tempat mengambil bahan ramuan rumah, berburu, dan memungut
hasil hutan berupa rotan, tengkawang, cempedak, dan sebagainya dimana warga
kampung atau desa dapat memperoleh kesempatan yang sama untuk memanfaatkan
hutan lindung tersebut. Akan tetapi kesempatan umtuk memanfaatkan hutan lindung
tersebut hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya agar warga lainnya
dapat ikut serta secara merata menikmati manfaat hutan lindung itu. Jadi tidak
dibolehkan hanya segelintir orang yang hanya dapat menikmati manfaat hutan
lindung tersebut.
4. Tanah bawas yaitu tanah bekas
perladangan dari suatu keluarga atau seorang terdiri atas bawas baru, bawas
baru, dan bawas tuha akan tetapi tanah bawas ini sudah termasuk tanah dalam
penguasaan perorangan
5. Tanah gupung yaitu tanah yang ditasnya
sudah ada objek hak persekutuan atau perorangan seperti gupung laman, gupung
tembawang, gupung lalau, gupung kubur dan gupung mali
6. Tanah kebun yaitu tanah yang dikuasai
oleh perorangan atas suatu keluarga diman diatasnya telah ada tanaman pohon
berupa pohon karet, lada, durian, pisang dan sebagainya.
BAB 5 POLA PEMILIKAN TANAH
Tanah pada masyarakat Daya
Linuh dimiiki oleh persekutuan dan warga persekutuan. Setiap warga persekutuan
berhak memiliki persekutuan dengan ketentuan memenuhi adat kebiasaan dalam proses pemilikan tanah.
Seorang warga termasuk para kepala kampung atau kepala persekutuan adat tidak
boleh membuka hutan lindung untuk dijadikan obejk hak perorangan. Jadi, pada
masyarakat suku Daya Linuh , sekali ia mengerjakan dan memberi tanda batas di
sebidang tanah hutan dengan setahu dan seizin kepada persekutuan, selama itu
pula tanah tersebut miliknya dan tidak boleh diganggu atau dikerjakan oleh
orang lain. Kalau ada yang mengganggu atau mengerjakannya, maka jelas yang
mengganggu tersebut bermasalah dan pasti dikenakan sanksi adat atas
perbuatannya merampas tanah milik orang lain.
Apabila tanah tersebut
menghutan kembali bukan persoalan, sebab memang disengaja dihutankan kembali
agar kesuburan tanah pulih kembali. Jadi, karena untuk kepentingan kelestarian
alamnya tanah tersebut dibiarkan seolah-olah diterlantarkan. Tanah persekutusn
dan tanah milik perseorangan mempunyai batas-batas yang tela disepakati bersama
oleh persekutuan lain atau orang lain yang tanahnya berbatasan langsung. Yang
dijadikan batas sifatnya tahan lama dan tidak mudah hilang, misalnya
menggunakan batas alam, batas yang ditanam atau diletakkan bersama.
Pada masyarakat ini, membagi
harta warisan terlebih dahulu dimusyawarahkan oleh orang tua dan anak-anaknya,
serta dihadiri oleh kaum keluarga yang terdekat. Orang tua sebagai pengambil
keputusan terkahir mengenai barang atau tabah yang akan diwariskan kepada anak
tertua, kedua, ketiga, dan seterusnya sampai kepada anak yang bungsu.
Tanah yang terpenting bagi
masyarakat suku Daya Linuh sekarang bukan sawah, melainkan tanah perladangan
dengan pola berpindahdari lokasi satu ke lokasi yang lain dan dalam siklus
waktu tertentu akan kembali ke tempat yang pertama kali dikerjakan. Kesuburan
tanah diserahkan sepenuhnya secara ilmiah kerana mereka belum mengenal cara
menyumburkan atanh dengan menggunakan pupuk, baik pupuk alam, maupun pupuk
buatan. Sebagai petani mereka memetingkan ladang daripada sawah karena, antara
lain:
1. tidak
mempunyai pengetahuan dsn pengalaman tentang sawah
2. tidak ada contoh yang konkrit tentang
hasil sawah, menurut mereka yang pernah bersawah
3. biaya
yang dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh
4. perbedaan
rasa padi ladang dengan padi sawah
BAB 6 POLA PENGGUNAAN TANAH
Tanah ynag terletak dalam
wilayah suatu kampung atau yang termasuk wilayah persekutuansuku Daya Linuh,
prinsipnya hanya boleh diguanakan oleh warga kampung setempat atau persekutuan
adat tersebut. Penggunaan tanah yang sudah beruoa tanah bawas jekas terlebih
dahulu harus meminta izin atau meminjam tanah bawas itu kepada pemiliknya.
Setelah itu, andaikan pemiliknya mau meminjamkan tanah tersebut barulah
memberitahukan maksudnya kepada kapala kampung atau kepala persekutuan adat
agar dapat dizinkan berada di kampung tersebut untuk mengerjakan tanah tersebut
yang dipinjam dari seorang warga kampung stempat.
Dalam hal demikian, kapala kampung
atau kepala persekutuan adat berwenang tidak mengizinkan yang bersangkutan,
apabila ada alasan-alasan yang diperkirakan dapat mengganggu atau merugikan
kepentingan persekutuan.Tanah yang diperguanakan dapat diklasifikasikan dalam
dua bentuk penggunaan, yakni penggunaan tanah untuk kepentingan perseorangan
dan untuk kepentingan komunal
• Penggunaan
tanah untuk kepentingan perseorangan dapat berupa:
1. Tanah
untuk perladangan
2. Tanah
untuk kebun dan tanaman lain, seperti buah-buahan atau umbi-umbian
3. Tanah
untuk warisan, dipertukarkan, dihibahkan, diperjual-belikan
4. Tanah
untuk halaman rumah
5. Tanah
untuk tempat orang numpang buma
6. Tanah
untuk tempat mendirikan rumah
7. Tanah
umtuk sawah sampai sekarang belum berhasil
• Tanah
yang digunakan untuk kepentingan komunal berupa:
1. Tanah
untuk hutan lindung
2. Tanah
untuk hutan bebas (cadanga lahan perladangan)
3. Tanah
untuk peternakan
4. Tanah
untuk gupung kubur
5. Tanah
untuk gupung mali
6. Tanah
untuk gupung lalau madu
7. Tanah
untuk gupung tembawang
BAB 7 ANALISA
Tanah yang berada dalam penguasaan perseorangan dan
tanah yang dikuasai komunal tetap berada dibawah pengawasan kepala persekutuan
adat agar ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan warganya terpelihara atau
terjamin. Kepindahan suatu kelompok ke lokasi atau pemukiman yang bari
disebabkan:
·
luas
wilayah kampung yang ditinggalkan sudah semakin sempit karena pertambahan
jumlah keluarga (penduduk)
·
kondisi
tanahnya yang semakin kurang subur
·
hasil
hutan dan binatang buruan sudah susah memperolehny
·
masih
luasnya tanah-tanah kosong disepanjang tepi sungai yang belum dikuasai oleh
kelompok
·
adanya
dorongan mencapai suatu kehidupan yang lebih baik dari tempat yang semula
Ada beberapa pandangan yang perlu diperhatikan oleh
pelaksana pemabngunan di lokasi proyek transmigrasi, PIR, dan wilayah PHK
sehubungan konsep budaya setempat yaitu
·
masyarakat
suku Daya Linuh dianggap sebagai telah mentelantarkan tanah, padahal
ditinggalkam untuk memulihkan kesuburan tanah dengan proses alami
·
masyarakat
suku Daya Linuh dilokasi proyek, kalau mempertahankan haknya untuk kepentingan
hidup mereka, kadangkala disebut penghambat pembangunan
·
sebutan
perladangan liar dalam pola ladang berpindah dirasakan menusuk perasaan kaum
petani sebab hanya dengan cara itulah mereka berupaya memenuhi kebutuhan
hidupnya dan keluarganya. Mereka berbuat demikian karena mengikuti
aturan-aturan yang harus ditaati dalam berladang dan apabila dilanggar akan
dikenakan sanksi adat menurut ketentuan hukum adat setempat.
Kekurangan:
·
dibuku
belum mendeteailkan tentang masyarakat setempat, siapa yang dimaksud dengan
kepala persekutuan adat, masyarakat yang seperti apa yang bisa memperoleh
lahannya.
·
kurangnya
kejelasan skup temporal pada buku tersebut sehingga seperti tidak runtut waktu
dibaca
·
kurangnya
bukti yang jelas agar dapat menggambarkan kondisi waktu tersebut
Kelebihan:
·
dalam
buku ini sangat detail menjelaskan tentang pembagian lahan pada daerah
Kalimantan Barat
·
lebih
menjelaskan mengenai hukum tanah yang ada di daerah Kalimantan Barat
KESIMPULAN RESENSI
:
BUKU 1 :
Buku ini menjelaskan tentang
Daerah Istimewa Yogyakarta yang mana pemerintahan nya yang masih berpusat pada
kerjaan yang dipimpin oleh seorang raja. Jadi dalam pola penguassan tanah pada mulanya di pegang
oleh seorang yang sangat berpengaruh di suatu daerah seperti raja. Dari
perkembangan tentang pertanahan di Daerah lstimewa Yogyakarta, baik mengenai
penguasaan; pemilikan maupun penggunaannya berasal dan bersumber kepada
pranata-pranata yang dikeluarkan oleh Kasultanan (Rijksblad Kasultanan dan
Rijksblad Paku Alaman). lni berarti segalanya berorientasi kepada kekuasaan
raja. Raja atau Sultan di sini merupakan satu-satunya penguasa wilayah yang
tertinggi yang menjadi pusat sembahan dan dambaan para kawulo dalem. Pola penguasaan,
pemilikan dan penggunaan tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta diatur oleh
pranata-pranata hukum adat dan pranata lain yang bersumber pada aturan-aturan
atau pranata dari kerajaan (Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alanian)
yang kenyataannya sampai sekarang masih berpengaruh. Dalam menulis buku ini
dengan menggunakan metode – metode yang mana di dalam buku ini mengambil skup
spasial Daerah Istimewa Yogyakarta akan tetpai tidak ada skup temporalnya
sehingga cakupan pembahasan lebih luas dan kurang mendetail.
BUKU 2
Buku ini menjelaskan tentang tanah
yang membahas tentang penguasaan tanah dan kepemilikan tananh yang manah tanah
bagi masyarakat Jawa sangat bernilai ekonomi dan berharga. . Pembahasan dalam
buku ini beberapa menjelaskan bahwa pemilikan tanah pertanian hanya terpusat
kepada beberapa orang saja, sehingga terdapat beberapa perubahan atau tingkatan
sosial dalam masyarakat sendiri yaitu terdapat beberapa golongan dalam
masyarakat. Terdapat juga beberapa bahasan mengenai UUPA dan juga ada beberapa
tabel yang menjelaskan tentang pertanahan di Jawa. Buku ini menjelaskan keadaan
penguasaan tanah di Jawa pada masa colonial dan sesudahnya.
BUKU
3 :
Buku ini menjelaskan tentang tanah yang
membahas tentang penguasaan tanah dan kepemilikan tananh yang manah tanah bagi
masyarakat Jawa sangat bernilai ekonomi dan berharga. . Pembahasan dalam buku
ini beberapa menjelaskan bahwa pemilikan tanah pertanian hanya terpusat kepada
beberapa orang saja, sehingga terdapat beberapa perubahan atau tingkatan sosial
dalam masyarakat sendiri yaitu terdapat beberapa golongan dalam masyarakat.
Terdapat juga beberapa bahasan mengenai UUPA dan juga ada beberapa tabel yang
menjelaskan tentang pertanahan di Jawa. Buku ini menjelaskan keadaan penguasaan
tanah di Jawa pada masa colonial dan sesudahnya.
Buku ini menjelaskan tentang
kondisi pertahanan yang ada di Kalimantan Barat yang mana menyangkut sejarah
pertanahan yang ada di Kalimantan Barat. Sejarah tentang tanah mulai dari
sebelum penjajahan hingga masa kemerdekaan. Di masyarakat Kalimantan Barat yang
masih kental dengan magisnya yang masih melaksanakan upacara adat untuk
menghormati nenek moyangnya yang menggunakan jenis tumbuhan yang ada di tanah
latosol dan andasol seperti suku Daya Linuh . Kedudukan pemilik tanah adat perorangan
dibatasi oleh hak ulayat dan fungsi sosial tanah. Seorang yang dimiliki
sebidang tanah sebidang tanah berkedudukan sebagai pemegang hak perorangan.
Oleh karena itu, ia berwenang mengatur penggunaan tanah yang dimilikinya
sepanjang tidak tidak bertentangan atau tidak merugikan hak-hak persekutuan
tanah dalam wilayah kampung atau ketemanggungan. Tanah ynag terletak dalam
wilayah suatu kampung atau yang termasuk wilayah persekutuan suku Daya Linuh,
prinsipnya hanya boleh digunakan oleh warga kampung setempat atau persekutuan
adat tersebut. Tanah pada masyarakat Daya Linuh dimiiki oleh persekutuan dan
warga persekutuan. Setiap warga persekutuan berhak memiliki persekutuan dengan
ketentuan memenuhi adat kebiasaan dalam
proses pemilikan tanah.
Dalam buku ini termasuk buku
yang menjelaskan mengenai masyarakat Kalimantan Barat dalam pola penguasaan,
kepemilikan, dan penggunaan tanah secara tradisional meskipun belum terlalu
luas. Di dalam resensi disebutkan buku ini lebih menjelaskan lebih mendetail
tentang pembagian tanah dan hukum tanah di Kalimantan Barat. Skup temporal yang
belum jelas serta skup Spasial yang terlalu luas sehingga belum menjelaskan
secara mendetail.
ANALISIS :
Dari
ketiga buku tersebut sebenarnya memiliki kesamaan yang mana sama – sama
menjelaskan tentang penguasaan dan kepemilikan tanah akan tetapi dengan memilik
skup Spasial yang berbeda – beda. Yang mana ketiga tempat tersebut memiliki
pola peguasaan yang berbeda – beda. Buku 1 dan Buku 2 lebih menjelaskan kepada
pola penguasaan dan kepemilikan yang mana skup Spasialnya yang juga sama berada
di Pulau Jawa yang Buku 1 menggunakan Daerah Istimewa Yogyakarta dan yang Buku
2 lebih ke Pulau Jawa secara umum sedangkan Buku 3 yang menjelaskan tentang pola penguasaan, kepemilikkan,
penggunaan tanah secara tradisional yang menggunakan skup Spasial Kalimantan
Barat dengan Suku Daya Linuh. Dari skup spasial yang ada memiliki latar
belakang yang berbeda sehingg dalam penjelasan Buku 3 lebih berbeda dengan
aturan adat yang dimiliki di wilayah tersebut.
Dapat
disimpulkan bagi para sejarwan yang ingin menulis tentang sejarah agrarian
dalam sub bab penguasaan dan kepemilikan tiga buku ini cukup memadai dalam
membantu literasi sejarah agrarian atau sebagai sumber skunder dalam menulis.
Dari 3 buku ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing – masing yang mana
juga bisa saling melengkapi hasil tulisan.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
semoga bermanfaat, jangan lupa tinggalkan kritik dan saran :)
Terimakasih atas informasinya, sangat bermanfaat untuk masyarakat, khususnya saya yang belajar tentang hukum agraria di Indonesia.
BalasHapusMantap kak
Terimakasih juga atas waktunya sudah mau mampir ke blog ini 🙂
Hapus